Label
Pengunjung
EKSTREM DAN BERLEBIHAN DALAM MEMUJI ORANG SHALEH
Berlebih-lebihan dalam
mengagungkan orang shaleh baik dengan perkataan maupun keyakinan sering disebut
dengan istilah al-ghuluww fis shalihin. Hukumnya adalah haram karena
menyebabkan kekufuran, kesyirikan dan meninggalkan agama Islam. Ghuluw termasuk
dosa besar yang bisa merusak Tauhid Uluhiyah, bahkan menghilangkan syahadat
"laa ilaaha illallah".
Allah
Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu
melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah
kecuali yang benar. Sesungguhnya Al-Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan
Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampai-kan-Nya kepada
Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan
rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan:"(Ilah itu) tiga",
berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu." (QS. 4:171)
Ayat
ini melarang berlebih-lebihan mengangkat makhluk melebihi porsinya, sehingga
keluar dari kedudukan-nya sebagai makhluk dan menempatkan pada posisi khaliq,
Illah dan Dzat yang disembah, padahal ini suatu yang tidak patut kecuali hanya
bagi Allah Subhannahu wa Ta'ala semata.
Kedurhakaan
atau kemaksiatan ini merupakan dosa yang terbesar karena melecehkan kedudukan
Allah dan dia mendhalimi diri nya sendiri, juga karena sangat salah menempatkan
mahkluk sejajar dengan Allah Subhannahu wa Ta'ala, itulah yang disebut dengan
syirik. Kelan-cangan ghuluw menganggap ada hak-hak khusus Allah Subhannahu wa
Ta'ala yang dimiliki oleh satu makhluq atau beberapa makhluq, atau salah dalam
menyandarkan sesuatu kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala, seperti mengatakan anak
Allah, Khalifatullah (pengganti Allah) dsb. Juga berlebihan dalam mengangkat
mahkluq tersebut.
BEBERAPA BENTUK GHULUW TERHADAP
ORANG SHALEH
1. Mengangkat Nabi atau mahkluq sebagai
anak Allah Subhannahu wa Ta'ala
Padahal jelas Allah Subhannahu wa
Ta'ala Dia Tuhan Yang Maha Esa tidak beranak dan tidak diperanakan. Jenis
ghuluw ini sebagai-mana yang dilakukan oleh kaum Nashara terhadap Nabi Isa i
dan Yahudi terhadap Nabi Uzair i. Sehingga hati mereka menjadi keras dan
kebanyakan berbuat fasiq. Untuk itu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam
bersabda, artinya: "Jangan kalian berlebih-lebihan memujiku sebagaimana
kaum Nasroni memuji (Isa i) putera Maryam, sesungguh-nya aku hanya seorang
hamba maka katakan; hamba Allah dan utusanNya" (HR. Al-Bukhari)
Karena sikap ghuluw ini kaum Nashara
dan Yahudi selalu memohon doa kepada nabi mereka, yang berarti telah
menjadikannya sebagai Tuhan. Untuk meluruskan keyakinan dan ibadah mereka yang
salah itu, Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Al-Masih putera
Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelum-nya
beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa
memakan makanan." (Al-Maidah: 75)
2. Beritikaf dikuburan orang shalih
Mereka berdiam khusyu' berdo'a
(i'tikaf) di kuburan-kuburan adalah karena betul-betul mengagungkan dan
mencintai orang saleh yang telah meninggal tersebut, ini berarti beribadah
kepada mereka, bahkan syirik, sebab i'tikaf itu hanya kepada Allah Subhannahu
wa Ta'ala dan tempatnya di masjid. (Demikian riwayat Imam Al Bukhari dan Ibnu
Jarir yang ditegaskan oleh imam Al Hafidh As Sakhawi)
3. Membuat patung dan gambar orang shalih
Setelah sekian lama orang-orang
shalih tersebut diangungkan dalam kubur saja, akhirnya mereka merasa perlu
menggambarkan rupa patungnya (monumen), untuk teladan mereka, peringatan dan
kenangan atas amal-amal shalihnya, agar dapat berjuang seperti dia, mereka juga
menyembah Allah Subhannahu wa Ta'ala disisi kuburan orang saleh tersebut.
Setelah mereka meninggal dan generasi berikut tidak tahu menahu asal muasalnya
maka syaithan membisikkan kepada generasi baru ini bahwa nenek moyang mereka
senan-tiasa mengagungkan dan menyembah patung-patung tersebut. Berhala-berhala
itu disembah setelah hilang ilmu dengan meninggalnya generasi tua mereka. Kasus
ini sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Nuh yang memuja berhala-berhala
orang-orang shaleh. (lihat Fathul Bari 8: 851-853)
4. Membangun kuburan dengan indah
Jika tujuannya ingin menghormati
orang shaleh tersebut, maka cara yang diperintahkan oleh Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Salam, adalah dengan mendo'akan, mewarisi ilmu, amal
jariah dan mengamalkan-nya, bukan membangun kuburannya.
Sahabat Jabir Radhiallaahu anhu
berkata: "Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam melarang mengapur
(menyemen) kuburan, duduk di atasnya dan membangun bangunan di atasnya."
(HR. Muslim)
5. Berdoa disamping kuburan mereka
Sungguh Rasullah Shallallaahu
'alaihi wa Salam memohon kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala jangan sampai
kuburan beliau Shallallaahu 'alaihi wa Salam dijadikan tempat berdo'a. Beliau
Shallallaahu 'alaihi wa Salam bersabda, artinya: "Ya Allah, janganlah
Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah." (HR. Malik dan
Ahmad).
Jangankan setelah wafat, disaat
masih hidup pun beliau Shallallaahu 'alaihi wa Salam tetap melarang keras,
isti'anah maupun istighasah yang ditujukan kepada beliau Shallallaahu 'alaihi
wa Salam karena itu semua hanya hak Allah semata. Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Salam menegaskan bahwa itu semua bukan haknya.
6. Memohon syafa'at, wasilah, istighotsah,
isti'anah dan pertolongan- pertolongan lain kepada mereka
Padahal semestinya hanya menjadi hak
Allah Subhannahu wa Ta'ala ; seperti rizki, kesehatan, nasib, jodoh,
keselamatan hidup dan mati. Permohonan kepada mereka begini sudah termasuk
syirik sebesar-besarnya sebab Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam sendiri
melarang sahabat-sahabat memohon istighotsah (pertolongan) pada diri beliau
Shallallaahu 'alaihi wa Salam , padahal beliau masih hidup.
Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam
bersabda, artinya: "Sesungguhnya istighatsah itu tidak (boleh dimintakan)
kepadaku, tetapi istigha-tsah itu kepada Allah." (HR. Ath-Thabrani)
7. Mencari barokah pada bekas tempat duduk
atau kuburan mereka
Padahal para sahabat Radhiallaahu
anhum tidak pernah melakukan yang demikian kecuali pada anggota tubuh atau
bekas Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam disaat beliau masih hidup.
Setelah beliau wafat para sahabat tidak melakukannya lagi. Mereka tidak
berwasilah kepada beliau Shallallaahu 'alaihi wa Salam , dan tidak mencari
barokah dikuburan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam .
Para sahabat juga tidak mencari
barokah kepada khalifah Abu Bakar Radhiallaahu anhu atau Amirul Mukminin Umar
bin Khattab Radhiallaahu anhu dan lain-lainya.
8. Menganggap bahwa orang-orang shalih itu
mengetahui urusan ghaib
Ini satu kebohongan yang dibuat-buat
oleh syaithan, sebab ilmu ghaib hanya hak Allah Ta'ala, dan sedikit sekali yang
diberikan keapda manusia, yaitu hanya kepada Rasul Nya saja, sebagai bukti
Risalah (Mukjizat).
Allah Subhannahu wa Ta'ala Berfirman,
artinya: "(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak
memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu." (QS. 72: 26)
"Kecuali kepada rasul yang
diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di
muka dan di belakangnya." (QS. 72: 27)
Menganggap pendapat, adat istiadat,
atau hasil pemikiran orang shalih itu lebih baik dan benar daripada syari'at
Rasul Shallallahu alaihi wasalam
Allah mencela kebiasaan mereka yang
taklid jumud dan takabur bila diperingatkan dengan syari'at Nabi Muhammad
Shallallaahu 'alaihi wa Salam.
Allah Subhannahu wa Ta'ala
berfirman, artinya: "Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah
apa yang telah diturunkan Allah". Mereka menjawab: "(Tidak) tetapi
kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk".
(QS. 2:170)
Menganggap bahwa orang shalih itu
dapat terlepas dari hukum syari'at Rasulullah , atau dapat membuat syari'at dan
hukum sendiri
Ghuluw yang demikian telah keluar
dari agama Allah, Al-Islam. Sebab Allah Subhannahu wa Ta'ala mengancam mereka,
artinya: "Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. 4:65)
"Barangsiapa yang tidak memutus-kan
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir." (QS. 5:44)
"Barangsiapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
zalim." (QS. 5:46)
"Barangsiapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
fasik." (QS. 5:47)
Atau menganggap mereka bisa membuat
hukum atas nama Allah, atau merubah hukum Allah. Padahal ghuluw yang demikian
disebut telah menyem-bah (menjadikan) mereka sebagai Tuhan, seperti perbuatan
dan sikap kaum ahli kitab terhadap para pemimpin agama mereka.
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya
dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka
menjadikan Rabb ) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh
menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia.
Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (QS. 9:31)
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Salam bersabda kepada Ady bin Hatim seorang ahli kitab yang masuk Islam, karena
ia menyangkal ayat di atas:
"Tidakkah mereka itu mengharamkan apa
yang telah dihalalkan Allah, lalu kamu pun mengharamkannya, dan tidakkah mereka
itu menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah, lalu kamu pun
menghalalkannya?' Ia berkata, 'Ya'. Maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam
bersabda : 'Itulah ibadah (penyembahan) kepada mereka'." (HR. At-Tirmidzi,
Ibnu Jarir dan lainya)
Sebagai penutup marilah kita
merenungkan wasiat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam, ketika sebagian
sahabat berkata kepada beliau: "Wahai Rasulullah! Wahai orang terbaik
diantara kami! Dan putera orang yang terbaik di antara kami! Wahai sayyid
(penghulu) kami dan putera penghulu kami!' Maka seketika Nabi Shallallaahu
'alaihi wa Salam bersabda, artinya: "Wahai manusia, ucapkanlah dengan
ucapan (yang biasa) kalian ucapkan! Jangan kalian terbujuk oleh syaithan! Aku
(tak lebih) adalah Muhammad, hamba Allah dan rasulNya. Aku tidak suka kalian
menyanjungku diatas derajat yang Allah berikan kepadaku!" (HR. Ahmad dan
An-Nasa'i).