Label

Pengunjung

Selamat mendownload di situs penyedia layanan konten Islam terlengkap. | Apabila terdapat link yang rusak, bisa Anda laporkan di sini

Pembagian Negara Dan Penduduk Dunia Dalam Islam


 I. PEMBAGIAN  NEGARA

Islam adalah dien yang sempurna. Seluruh aspek kehidupan manusia telah diaturnya dengan aturan yang selaras dengan perkembangan zaman. Masalah pemerintahan dan politik juga tak luput dari tuntunan dien Islam. Para ulama telah menulis buku-buku tentang sistem pemerintahan dan politik Islam sejak abad kedua hijriyah.
Ilmu politik Islam telah hadir sejak masa Abdul Hamid bin Yahya al Katib (132 H/750 M), penasehat khalifah Marwan bin Muhammad lewat buku yang ditulisnya "Risalatun fi Nashihati Waliyil 'ahdi". Ilmu politik dan pemerintahan Islam pada masa itu sudah sangat maju, membahas berbagai persoalan pelik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kudeta militer dan keikut sertaan militer dalam dunia politik, misalnya,  sudah direkam oleh Abdullah bin Muqaffa' (109-145 H/727-762 M), sekretaris khalifah Al Manshur al Abbasi lewat bukunya "Al Durah al Yatimah wal Jauharah al Tsaminah". Hubungan antar negara juga telah dibahas oleh Abu Yusuf (113-182 H/731-798 M) lewat "Al Siyar Al Kabir wal Shaghir", ia juga telah membahas masalah hak dan kewajiban warga negara non muslim (ahlu dzimah) dan pendapatan serta pengeluaran negara atas permintaan khalifah Harun Al Rasyid, lewat buku monumental "Kitabu al Kharaj".[1]
Sejak zaman salafush sholih, pembagian negara juga sudah dikenal. Bahkan pembagian negara sudah dikenal oleh para shahabat sebelum ilmu pemerintahan dan politik Islam dibukukan. Berdasar kaedah-kaedah syariat Islam, para ulama membagi negara-negara yang ada di dunia ini menjadi dua bagian ;
a). Negara Islam [Darul Islam].
b). Negara kafir [Darul Harbi atau Darul Kufri].
Sebagian ulama kontemporer menambahkan bentuk negara ketiga, yaitu negara yang terlibat perdamaian [Darul Shulhi] atau negara yang terlibat dalam gencatan senjata [Darul 'Ahdi], namun pendapat ini dibantah mayoritas ulama karena tak berdasar dalil. Para ulama Zaidiyah juga menyebutkan jenis negara yang ketiga adalah negara fasiq [Darul Fisqi] atau negara waqaf [Darul Waqfi]. Namun pembagian yang disepakati oleh mayoritas ulama adalah Darul Islam dan Darul Kufri. Sebagaimana dinyatakan oleh Imam Asy Syaukani dalam As Sailul Jarrar al Mutadafiq 'Ala Hadaiqil Azhar IV/577, penetapan adanya jenis negara Fasiq atau waqaf sama sekali tak mempunyai dasar.[2]

A.   Dasar Pembagian Negara

1)      Dasar al Qu’ran
Para ulama telah mengkaji secara mendalam dasar-dasar pembagian negara dari ayat-ayat Al Qur'an. Mereka[3] menyimpulkan beberapa ayat  yang menerangkan kriteria sebuah negara disebut sebagai negara Islam atau negara kafir. Di antara ayat-ayat itu adalah :
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ  الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِم بِغَيْرِ حَقٍّ إِلآَّ أَن يَقُولُوا رَبُّنَا اللهُ وَلَوْلاَ دَفْعُ اللهِ النَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدَ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللهِ كَثِيرًا وَلَيَنصُرَنَّ اللهُ مَن يَنصُرُهُ إِنَّ اللهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ  الَّذِينَ إِن مَّكَّنَّاهُمْ فِي اْلأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلاَةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ اْلأُمُورِ
“ Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (40) (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata:"Rabb kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (41) (yaitu)orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” [QS. Al Hajj :39-41].
Keterangan :
Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa berkuasanya kedzaliman di suatu negeri mengisyaratkan bahwa negeri tersebut adalah negeri kafir. Kedzaliman yang terbesar adalah syirik. Allah juga menerangkan di antara sebagian kedzaliman adalah mengeluarkan orang-orang yang terdzalimi tanpa alasan yang benar dan  menghancurkan tempat-tempat ibadah. Allah juga menerangkan sebagian ciri negara Islam, yaitu penegakkan shalat sebagai lambang hubungan hamba dengan Rabbnya, menunaikan zakat sebagai lambang penunaian hak hamba, penegakkan amar ma'ruf nahi munkar yang merupakan kaedah terjaganya dienullah serta dakwah dan jihad demi meninggikan kalimat Allah Ta'ala.   
وَمَالَكُمْ لا َتُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَ النِّسَآءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَآ أَخْرِجْنَا مِنْ هَذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ وَلِيًّا وَاجْعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ نَصِيًرا
 “ Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo'a:"Ya Rabb kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau". [QS. An Nisa’ :75].
Keterangan :
Negeri di mana orang-orang kafir menekan dan menindas umat Islam dan bahkan juga non muslim sekalipun. Begitu kerasnya penindasan, sehingga mereka berdoa agar bisa keluar dari negeri tersebut. Penindasan ini  tak akan terjadi kalau tidak karena berkuasanya kekafiran, pemerintahnya  orang-orang kafir dan hukum Allah tidak berlaku. Tak diragukan lagi negeri seperti ini adalah negeri kafir. Kalau negeri tersebut adalah negeri Islam, tentulah sudah ada yang beramar ma'ruf nahi mungkar dan membela kaum yang tertindas. Karena tidak adanya amar ma'ruf nahi mungkar dan pembelaan terhadap rakyat yang tertindas inilah, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk berjihad memerangi penguasa negeri tersebut. Allah mencela orang-orang beriman yang tidak menegakkan jihad memerangi penguasa negeri tersebut.
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِرُسُلِهِمْ لَنُخْرِجَنَّكُم مِّنْ أَرْضِنَآ أَوْ لَتَعُودُنَّ فِي مِلَّتِنَا فَأَوْحَى إِلَيْهِمْ رَبُّهُمْ لَنُهْلِكَنَّ الظَّالِمِينَ
“ Orang-orang kafir berkata kepada rasul-rasul mereka," Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami". Maka Rabb mewahyukan kepada mereka:"Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zalim itu.” [QS. Ibrahim :13].
Keterangan :
Negeri di mana para penguasanya memaksa kaum muslimin untuk kembali kepada kesyirikan atau mengeluarkan mereka dari negeri itu jika mereka tidak mau murtad, tak diragukan lagi negeri ini adalah negeri kafir bukan negeri Islam.
 قَالَ الْمَلأُ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا مِن قَوْمِهِ لَنُخْرِجَنَّكَ يَا شُعَيْبُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَكَ مِن قَرْيَتِنَآ أَوْ لَتَعُودُنَّ فِي مِلَّتِنَا قَالَ أَوَلَوْ كُنَّا كَارِهِينَ
“ Pemuka-pemuka dari kaum Syu'aib yang menyombongkan diri berkata:"Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu'aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, kecuali kamu kembali kepada agama kami". Berkata Syu'aib:"Dan apakah (kamu akan mengusir kami), kendatipun kami tidak menyukainya". [QS. Al A’raaf :88].
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي اْلأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُوْلاَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
         “ Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya:"Dalam keadaan bagaimana kamu ini". Mereka menjawab:"Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata:"Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah dibumi itu". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali.” [QS. An Nisa’ :97].
Keterangan :
Negeri di mana kaum muslimin tertindas dan diwajibkan berhijrah darinya tak diragukan lagi merupakan negeri kafir, bukan negeri Islam.
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَاسَبَقَكُم بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِّنَ الْعَالَمِينَ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِّن دُونِ النِّسَآءِ بَلْ أَنتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ وَمَاكَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلآأَن قَالُوا أَخْرِجُوهُم مِّن قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ .
“ Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya:"Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu". (81) Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. (82) Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan:"Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kota ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri". [QS. Al A’raaf ;80-82].
Keterangan :
Negeri di mana kebejatan dilakukan secara terang-terangan, dipuji dan didukung oleh sistem yang berkuasa, sebaliknya kebajikan dianggap sebagai kerusakan dan musuh. Maka negeri ini tak diragukan lagi negara kafir, bukan negara Islam.
وَأُلْقِيَ السَّحَرَةُ سَاجِدِينَ قَالُوا ءَامَنَّا بِرَبِّ الْعَالَمِينَ  رَبِّ مُوسَى وَهَارُونَ  قَالَ فِرْعَوْنُ ءَامَنتُمْ بِهِ قَبْلَ أَنْ ءَاذَنَ لَكُمْ إِنَّ هَذَا لَمَكْرٌ مَّكَرْتُمُوهُ فِي الْمَدِينَةِ لِتُخْرِجُوا مِنْهَآ أَهْلَهَا فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ  لأُقَطِّعَنَّ أَيْدِيَكُمْ وَأَرْجُلَكُم مِّنْ خِلاَفٍ ثُمَّ لأُصَلِّبَنَّكُمْ أَجْمَعِينَ قَالُوا إِنَّا إِلَى رَبِّنَا مُنقَلِبُونَ    وَمَاتَنقِمُ مِنَّآ إِلآ أَنْ ءَامَنَّا بِئَايَاتِ رَبِّنَا لَمَّا جَآءَتْنَا رَبَّنَآ أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَتَوَفَّنَا مُسْلِمِينَ
“ Dan ahli-ahli sihir itu serta merta meniarapkan diri dengan bersujud. Mereka berkata:"Kami beriman kepada Rabb semesta alam, (yaitu) Rabb Musa dan Harun". Fir'aun berkata:"Apakah kamu beriman kepadanya sebelum aku memberi izin kepadamu, sesungguhnya (perbuatan) ini adalah suatu muslihat yang telah kamu rencanakan di dalam kota ini, untuk mengeluarkan penduduknya dari padanya; maka kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu ini); demi, sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kakimu dengan bersilang secara bertimbal balik, kemudian sungguh-sungguh aku akan menyalib kamu semuanya". Ahli-ahli sihir itu menjawab:"Sesungguhnya kepada Rabblah kami kembali. Dan kamu tidak menyalahkan kami, melainkan karena kami telah beriman kepada ayat-ayat Rabb kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami". (Mereka berdo'a):"Ya Rabb kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu)". [QS. Al A’raaf :120-126].
Keterangan :
Negeri di mana pemerintah yang berkuasa tidak memperbolehkan rakyatnya untuk beriman dan meninggalkan ideologi negara, kecuali bila telah mendapatkan izin pemerintah. Jika ia beriman tanpa seizin pemerintah, ia akan disiksa. Tak diragukan lagi negeri ini bukanlah negeri Islam, namun negeri kafir.
إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلاَ فِي اْلأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ طَآئِفَةً مِّنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَآءَهُمْ وَيَسْتَحْىِ نِسَآءَهُمْ إِنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ  وَنُرِيدُ أَن نَّمُنَّ عَلَى الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا فِي اْلأَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَنَجْعَلَهُمُ الْوَارِثِينَ  وَنُمَكِّنَ لَهُمْ فِي اْلأَرْضِ وَنُرِىَ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا مِنْهُم مَّاكَانُوا يَحْذَرُونَ .
“ Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka.Sesungguhnya Fir'aun termasukorang-orang yang berbuat kerusakan. Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi), dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir'aun dan Haman beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu.” [QS. Al Qashash :4-6].
Keterangan :
Negeri di mana orang-orang kafir berkuasa dan menyebarkan kerusakan dengan mendirikan partai-partai yang saling bertarung demi melemahkan mereka sehingga pemerintah bisa menguasai mereka. Pemerintah juga menindas rakyat sehingga rakyat tidak menemukan pembela dan orang yang beramar makruf nahi mungkar karena yang melakukan kemungkaran justru adalah pemerintah yang berkuasa memerintah dan melarang, pemerintah yang melawan Allah dan orang-orang beriman. Tak diragukan lagi negeri ini adalah negara kafir, bukan negara Islam.
لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلاَهٍ غَيْرُهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ قَالَ الْمَلأُ مِن قَوْمِهِ إِنَّا لَنَرَاكَ فِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ  قَالَ يَاقَوْمِ لَيْسَ بِي ضَلاَلَةٌ وَلَكِنِّي رَسُولٌ مِّن رَّبِّ الْعَالَمِينَ.
“ Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata:"Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Ilah bagimu selain-Nya". Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat). Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata:" Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata". [QS. Al A’raaf :59-61].
وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلاَ تَتَّقُونَ قَالَ الْمَلأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن قَوْمِهِ إِنَّا لَنَرَاكَ فِي سَفَاهَةٍ وَإِنَّا لَنَظُنُّكَ مِنَ الْكَاذِبِينَ  قَالَ يَاقَوْمِ لَيْسَ بِي سَفَاهَةٌ وَلَكِنِّي رَسُولُُ مِّن رَّبِّ الْعَالَمِينَ
“ Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata:"Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Ilah bagimu selain-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertaqwa kepada-Nya?". (66) Pemuka-pemuka yang kafir dari kaumnya berkata:"Sesungguhnya kami benar-benar memandang kamu dalam keadaan kurang akal dan sesungguhnya kami menganggap kamu termasuk orang-orang yang berdusta." [Qs. Al A’raaf :66-67].
Keterangan :
Negeri di mana para da'i penyeru kepada tauhid disebut sebagai orang bodoh dan gila, sementara yang memberi label demikian adalah para penguasa negeri itu, maka negeri seperti ini tidak diragukan lagi adalah negara kafir bukan negara Islam.
وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ كَمَااسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لاَيُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ.
“ Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merobah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa.Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik.’ [QS. An Nuur :55].
Keterangan :
Ayat ini mengisyaratkan tiga ciri sebuah negara Islam, yaitu : kekuasaan di tangan orang-orang yang bertauhid, dien Allah menang dengan berlakunya hukum-hukum Islam dan kaum muslimin merasakan keamanan di negeri tersebut.

2)      Dasar dari as-sunnah dan atsar salaf
Seperti juga Al Qur'an yang tidak menyebutkan secara tegas darul Islam dan darul kufri, namun mengisyaratkan beberapa kriteria darul Islam dan darul kufri. Begitu juga dengan As Sunah, hanya mengisyaratkan darul Islam dan darul kufri secara global.
Meski demikian, istilah darul Islam dan darul kufri nampaknya sudah mulai dikenal  oleh para shahabah sejak periode dakwah di Makkah. Istilah yang dikenal saat itu adalah Darul Hijrah dan Darul Muhajirin untuk darul Islam, dan Daarul Syirki atau Darul Musyrikin untuk negara kafir.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا...فَقَالَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْمُسْلِمِيْنَ : إِنِّي أُرِيْتُ دَارَ هِجْرَتِكُمْ ذَاتَ نَخْلٍ بَيْنَ لَابَتَيْنِ وَهًمَا الْحُرَّتَانِ. فَهَجَرَ مَنْ هَجَرَ قِبَلَ الْمَدِيْنَةِ وَ رَجَعَ عَامَةُ مَنْ كَانَ هَاجَرَ بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ إِلَى الْمَدِيْنَةِ...
Dari Aisyah Radhiyallahu 'Anha…Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda kepada kaum muslimin," Diperlihatkan kepadaku daar hijrah (negeri tujuan hijrah) kalian.  Yaitu negeri yang penuh dengan pohon korma, terletak di antara dua batu  besar (bukit terjal) hitam." Maka kaum muslimin (di Makkah) berhijrah ke Madinah, sedang mayoritas kaum muhajirin di Habasyah juga segera kembali berhijrah ke Madinah…"[4]  
Dengan hijrahnya Rasulullah dan para shahabat ke Madinah, maka Madinah menjadi darul Islam. Sejak saat itu, umat Islam diwajibkan berhijrah ke Madinah.  Penduduk suku-suku Arab yang masuk Islam juga diperintahkan untuk berhijrah ke Madinah.
كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا أَمَّرَ أَمِيْرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِى خَاصَتِهِ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمَنْ مَعَهُ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرًا ثُمَّ قَالَ أُغْزُوْا بِسْمِ اللهِ فِى سَبِيْلِ اللهِ فَقَاتِلُوْا مَنْ كَفَرَ بِا للهِ....ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى التَّحُوْلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ الْمُهاَجِرِبْن.َ
Dari Buraidah radhiyallahu 'Anhu ia berkata," Rasulullah bila mengangkat seorang amir pasukan dan ekspedisi selalu memberi wasiyat khusus baginya dengan taqwa kepada Allah 'Azza Wa Jalla dan kepada kaum muslimin lainnya untuk berbuat kebajikan. Lalu beliau bersabda,"Berperanglah dengan nama Allah, berperanglah fi sabilillah, ..., lalu ajaklah mereka untuk pindah dari negeri mereka ke negeri muhajirin.....!"[5]
Para ulama' menyimpulkan  " مِنْ دَارِهِم " maksudnya adalah negara kafir, sedangkan " دَارِ الْمُهَاجِرِبْنَ " maksudnya negara Islam. Juga terdapat perkataan sahabat yang membedakan daarul kufri dan daarul Islam secara global.
Ibnu Abbas berkata :
اِنَّ رَسُوْلَ الله وَ اَبَا بَكْرٍ وَ عُمَرَ كَانُوْا مُهَاجِرَيْنِ لاَِنَّهُمْ هَاجَرَوا المُشْرِكِيْنَ وَ كَانَ مِنَ الاَنْصَارِ مُهَاجِرٌ لاَنَّ الَمدِيْنَةَ كَانَتْ دَارَ شِرْكٍ فَجَاءُوْا اِلَى رَسُوْلِ الله صَلَى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لَيْلَةَ العَقَبَةِ.
" Sesungguhnya Rosulullah shallallaahu 'alayhi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar adalah termasuk para Muhajiriin, karena mereka telah hijrah dari kaum musyrikin Makkah. Sedangkan di kalangan anshor juga terdapat muhajirin karena semula Madinah adalah sebuah Darusy-Syirk, sehingga mereka pergi (hijrah) kepada Rosulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam  pada malam Lailatul 'Aqobah."       
Imam Az-Zuhri berkata:
إِنَّ دَارَ الإِْسْلاَمِ إِنَّمَا تَمَيِّزَتِ دَّارَ الْحَرْبِ بَعْدَ فَتْحِ مَكة
Sesungguhnya Daarul Islam, dapat dibedakannya dengan Daarul Harbi setelah Fathu Makkah."[6]   

B.     Pendapat Para Ulama Tentang Darul Islam

Di kalangan para ulama terdapat perbedaan pendapat dalam mendefinisikan darul Islam. Dari berbagai pendapat para ulama, Dr. Abdulloh Ath-Thuroiqi[7]  menyimpulkan perbedaan pendapat para ulama menjadi tiga pendapat :
[1].    Pendapat yang menyatakan negara dikatakan negara Islam berdasar kekuasaan yang ada. Bila kekuasaan berada di tangan kaum muslimin, maka negara itu adalah darul Islam. Ini pendapat Imam Ar Rafi'i.
Imam Ar Rafi'i berkata,"  Bukanlah syarat sebuah negara Islam itu negara tersebut dihuni kaum muslimin, namun sudah cukup bila berada di bawah kekuasaan penguasa muslim." 
As-Sarakhsy berkata," Darul Islam adalah nama bagi sebuah tempat yang berada dibawah kekuasaan kaum muslimin dengan tanda kaum muslimin aman didalamnya. Adapun tempat di mana kaum muslimin tidak aman, maka termasuk daarul harbi."[8]
Ibnu Hazm Adz-dzohiri berkata," Sebab sebuah negara itu dinisbahkan kepada yang menguasai, mengatur dan merajainya."[9] 
 [2].   Pendapat yang menyatakan bahwasanya negara disebut Daarul Islam kalau hukum yang  berlaku di dalamnya adalah hukum Islam. Ini pendapat jumhur ulama'.
Imam Abu Yusuf berkata," Sebuah negara itu dianggap Daarul Islam dengan berlakunya hukum-hukum Islam di dalamnya, walaupun sebagian besar penduduknya orang kafir. Dan sebuah negara itu dianggap Daarul kufri dikarenakan berlakunya hukum kafir didalamnya walaupun sebagian besar peduduknya kaum muslimin."
Al-Kasani mempertegas lagi," Tidak ada perselisihan diantara sahabat-sahabat kita bahwasanya daarul kufri itu menjadi daaru Islam dengan menonjolnya hukum Islam di dalamnya."
Abdul Qohir Al-Baghdadi berkata," Setiap negara yang berjalan di dalamnya dakwah Islam tanpa harus dijaga dan dilindungi, dan juga didalamnya dilaksanakan hukum Islam kepada ahli dzimmah kalau penduduknya adalah ahli dzimmah, dan ahli bid'ah tidak menguasai ahlus sunnah, maka ia adalah Daarul Islam. Jika sebaliknya, maka ia adalah Daarul kufri."[10]
Ibnu Yahya Al-Murtadlo Az-Zaidi dalam bukunya 'Uyuunul Azhar hal. 528 berkata," Daarul Islam adalah negara yang menonjol di dalamnya dua kalimat syahadat dan sholat serta tidak nampak di sana satu bentuk kekafiran walaupun disebabkan ta'wil, kecuali dengan persetujuan, tanggungan dan jaminan keamanan dari kaum muslimin. Dan daarul kufri adalah negara yang kekuatannya (kekuasaannya) ditangan orang-orang kafir, dan tidak ada dzimmah (tanggungan) kaum muslimin terhadap mereka."
Asy-Syaukani dalam As Sailul Jarar IV/575 memberikan komentar terhadap pernyataan ini," Yang dijadikan patokan adalah dhuhurul kalimah. Apabila perintah-perintah dan larangan-larangan yang berlaku didalamnya milik umat Islam, sehingga orang-orang kafir tidak bisa menampakkan kekafirannya kecuali atas izin dari kaum muslimin, maka ini adalah Darul Islam. Munculnya bentuk kekafiran di dalam negeri tersebut tidak membahayakan (tidak bepengaruh sama sekali terhadap status negara-pent) karena kemunculannya bukan disebabkan karena kekuatan atau kekuasaan orang-orang kafir. Sebagaimana yang bisa disaksikan pada ahli dzimmah dari orang Yahudi, Nasroni dan orang -orang kafir yang tinggal di daerah-daerah Islam yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin. Kalau kondisi negara tersebut sebaliknya, maka hukumnya juga sebaiknya (negara kafir)."[11] 
Ibnul Qoyyim menukil dari perkataan Jumhur," Daarul Islam adalah negara yang diduduki kaum muslimin dan didalamnya berjalan hukum Islam, jika di dalamnya tidak berjalan hukum Islam maka bukanlah daarul Islam walaupun berdampingan sebuah daarul Islam."[12] 
Ibnu Muflih Al-Hambali berkata," Setiap negara yang hukum Islam menguasai di dalamnya, maka daarul Islam, dan apabila dikuasai hukum kuffar maka daarul kufri. Dan selain kedua jenis negara ini tidak ada jenis negara lainnya."[13] 
Para ulama Nejed dalam fatwanya mengatakan," Darul Islam adalah negara yang hukum-hukum Islam berlaku di dalamnya, sekalipun penduduknya  bukan kaum muslimin. Bila negara tidak demikan (hukum Islam tidak berjalan), maka negara tersebut adalah darul kufri.
Jika kesyirikan meraja lela di dalam negeri, diikuti oleh meraja lelanya kebobrokan moral dan kebejatan, bid'ah-bid'ah berkembang luas, seruan yang ada menyeru kepada selain Al Kitab dan As Sunah. Maka seluruh (kandungan) Al Qur'an, ilmu dharuri dan ijma' ulama menunjukkan bahwa negeri seperti ini adalah Daaru kufrin wa syirkin."  
Syaikh Abdullah Abu Bathizzzn mengatakan," Para shahabat mengatakan," Negara ada dua ; negara Islam dan negara kafir. Negara Islam adalah negara yang hukum-hukum Islam berlaku di dalamnya sekalipun penduduknya bukan kaum muslimin. Negara yang tidak demikian (tidak berjalan hukum-hukum Islam) adalah negara kafir."[14]
Syaikh Abdurahman bin Nashir As Sa’di mengatakan,” Daarul Islam adalah negara yang diperintah oleh kaum muslimin, hukum-hukum Islam diberlakukan dan kekuasaan berada di tangan kaum muslimin sekalipun mayoritas penduduknya orang-orang kafir.”[15]
Sayyid Quthb berkata," Daarul Islam mencakup setiap negara yang hukum-hukum Islam dilaksanakan di dalamnya dan negara tersebut diatur dengan syari'at Islam. Sama saja apakah seluruh penduduknya kaum muslimin atau terdiri dari kaum muslimin dan kaum dzimmi atau seluruhnya kaum dzimmi. Tetapi para penguasanya orang-orang muslim yang melaksanakan di dalamnya syariat Islam dan mengatur negera tersebut dengan syari'at Islam."[16]
[3].    Pendapat yang menyatakan suatu negara disebut darul Islam kalau negara tersebut dihuni kaum muslimin dan bisa melaksanakan sebagian syi'ar-syi'ar ta'abudiyah (ritual peribadahan). Ini pendapat Al-Bajrimi dan Ad-Dasuki.
Al-Bajrimi Asy-Syafi'i mengatakan, " Yaitu negara  yang dihuni kaum muslimin walaupun di dalamnya ada ahludz-dzimmah atau negara yang telah ditaklukkan kaum muslimin dan dibiarkan ditangan kaum kuffar atau kaum muslimin tinggal di dalamnya kemudian diusir oleh orang-orang kafir dari negara tersebut."[17]    

Kajian masing- masing pendapat :
1-      Pendapat pertama
Setelah mengkaji pendapat para fuqoha', Dr.Abdulloh Ath-Thuroqi berkata," Menurut saya, sepertinya pendapat yang pertama tidak jauh berbeda dengan pendapat yang kedua. Sebuah negara yang berada di tangan kaum muslimin pada dasarnya didominasi oleh hukum Islam. Tetapi kadang-kadang ada negara yang berada di tangan kaum muslimin dan kaum muslimin hidup dengan aman di dalamnya, namun berhukum dengan selain hukum Islam sebagaimana terjadi di negara-negara Islam pada saat lemah. Dan begitu pula terkadang ada negara yang bergabung dengan kaum muslimin akan tetapi tidak belaku di dalamnya hukum Islam seperti negeri yang mempunyai perjanjian damai dengan kaum muslimin."[18]
Berdasar keterangan ini, pendapat pertama yang menyatakan sebuah negara disebut negara Islam bila pemerintah yang berkuasa adalah umat Islam, tidak terlalu definitif. Pendapat ini berbenturan dengan realita yang sering terjadi. Sebuah negara dengan penduduk mayoritas muslim, atau minimal kaum muslimin hidup di dalamnya, dengan pemerintahan yang terdiri dari orang-orang Islam namun menerapkan pemerintahan sekuler. Padahal semua ulama telah bersepakat sekulerisme adalah sebuah paham kafir. Dengan demikian, pendapat pertama ini kurang tepat dalam mendefinisikan "daarul Islam."
As-Sarakhsi mengatakan,"  Sekedar penaklukan tanpa diberlakukannya hukum Islam tidak merubah statusnya menjadi daarul Islam." (Karena kekuasaan tidaklah sempurna kecuali dengan menjalankan hukum Islam di dalamnya).”[19] 

 2-     Pendapat kedua
Pendapat kedua adalah pendapat yang kuat karena didukung oleh dalil yang jelas. Khaibar menurut kesepakatan ulama adalah negara Islam, karena hukum Islam ditegakkan di dalamnya, sekalipun seluruh penduduknya adalah orang Yahudi. Daerah Taima' dan Fada' juga disebut negara Islam, karena mereka membayar jizyah kepada Rasulullah, padahal seluruh penduduknya adalah orang Yahudi. Begitu juga bani Tsaghlab, karena mereka membayar jizyah kepada khalifah Umar maka daerah mereka disebut negara Islam sekalipun seluruh penduduknya beragama Nasrani. 
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّ أَبَا سَعِيْدٍ وَ أَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَاهُ أَنَّ النَّبِي صلى الله عليه وسلم بَعَثَ أَخَا بَنِي عَدِي مِنَ الْأَنْصَارِ إِلَى خَيْبَرَ فَأَمَّرَهْ عَلَيْهَا.
Dari Sa'id bin Musayyib bahwa Abu Sa'id Al Khudri dan Abu Hurairah menceritakan kepadanya bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa salam mengutus seorang laki-laki anshar dari bani 'Adi ke Khaibar dan mengangkatnya sebagai gubernur di Khaibar."[20] 
Syaikh Abdullah bin Abdurahman Abu Bathin mengatakan dalam fatwanya,"Jawaban atas pertanyaan ini diambil dari apa yang disebutkan oleh para fuqaha' mengenai hukum sebuah negeri yang seluruh penduduknya orang Yahudi atau Nasrani. Jika mereka membayar jizyah, maka negeri mereka menjadi negeri Islam dan disebut Daaru Islam. Jika penduduk sebuah negeri adalah orang-orang Nasrani. Mereka mengatakan Al Masih adalah Allah (tuhan), atau anak Allah, atau satu dari tiga unsur ketuhanan (trinitas), jika mereka membayar jizyah maka negeri mereka disebut negeri Islam…"[21]
Demikianlah yang diakui oleh para ulama. Daerah-daerah yang ditaklukkan oleh daulah Umawiyah, Abbasiyah maupun Al 'Ulya Al Utsmaniyah dan diatur dengan hukum-hukum Islam disebut sebagai negara Islam, sekalipun seluruh warga negaranya orang-orang Yahudi, atau Nasrani atau lainnya.
Berdasar ini pula, syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dan seluruh pengikut beliau memerangi penguasa Makkah. Sekalipun seluruh penduduk Makkah adalah orang Islam, namun karena meraja lelanya kesyirikan dan tidak berlakunya hukum Islam di Makkah, maka Makkah dikategorikan Daarul Kufri. Terhadap pihak-pihak yang menuduh gerakan syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai gerakan Khawarij yang menyerbu umat Islam dan memerangi negeri-negeri Islam, syaikh Hamd bin 'Atiq menjawab secara gamblang :
"…Adapun jika kesyirikan menyebar luas ; seperti berdoa kepada Ka'bah, Al Maqam dan Al Hathim, berdoa kepada para nabi dan orang-orang sholih, dan meraja lelanya ekor-ekor kesyirikan seperti zina, riba, berbagai kedzaliman, melemparkan as sunan di belakang punggung, tersebar luasnya bid'ah dan kesesatan, berhukum kepada para imam yang dzalim dan wakil-wakil orang-orang musyrik, seruan yang ada adalah seruan kepada selain Al Qur'an dan As Sunah, dan ini sudah menjadi hal yang umum di negeri manapun. Maka orang yang mempunyai ilmu paling rendah pun mengetahui bahwa negeri seperti ini dihukumi sebagai Bilaadu Kufrin wa Syirkin (negeri kafir dan syirik), apalagi jika mereka memusuhi ahli tauhid, berusaha untuk menghilangkan dien ahli tauhid dan menghancurkan negeri-negeri Islam."[22]
Syaikh Hasan Ayyub berkata," Negara ahli dzimah disebut daarul Islam karena diatur dengan nama Islam dan penguasanya orang Islam yang menjalankan hukum-hukum Islam atas kaum dzimmi."[23]
             
3-      Pendapat ketiga
Dr. Ibrahim At Turaiqi mengomentari pendapat ketiga dengan mengatakan,"Adapun pendapat ketiga menurut saya terlalu mempermudah dan tidak memberikan pengertian yang rinci. Karena bisa dikatakan sebagai kebalikannya (ungkapannya bisa dibalik): negara yang didiami orang-orang dzimmi adalah daarul kufri walaupun berhukum dengan hukum Islam. Pernyataan ini jelas sebuah pernyataan yang batil."[24]
Berdasar pendapat ketiga ini, Amerika, Australia dan negara-negara Eropa Barat yang menerapkan demokrasi sekuler dengan sistem ekonomi kapitalisnya atau negara-negara Eropa Timur yang menganut komunisme dengan ekonomi sosialisnya disebut negara Islam ; alasannya berjuta-juta kaum muslimin menetap sebagai warga negara dan mereka bisa melaksanakan syiar-syiar (ritual) peribadahan seperti sholat dan shaum. Jelas tak seorang ulamapun mengatakan Amerika, Australia dan negara-negara Eropa Barat atau negara-negara Eropa Timur sebagai negara Islam. Dengan demikian, jelas pendapat ini lemah sekali.
Dr. Abdullah Ahmad Al-Qadiri menyebutkan sebuah contoh yang sangat tepat ; Albania. Mayoritas warga negaranya adalah umat Islam, bahkan para pejabat pemerintahannya juga memakai nama-nama Islam. Hanya saja pemerintahan mereka menerapkan komunisme. Lantas apakah dengan demikian Albania disebut sebagai negara  Islam ? Tentu saja tidak, Albania bukan negara Islam tapi negara Komunis.”[25]
Memang benar di antara tugas daarul Islam adalah menegakkan syiar-syiar Islam, seperti membangun masjid, menegakkan sholat berjama’ah, mengumandangkan adzan, melaksanakan sholat ied dan lain-lain. Karena itu, bila sebuah daerah meninggalkan sebgain syiar-syiar Islam yang dhahir ini, maka menjadi kewajiban imam untuk memeranginya sampai mereka menegakkan kembali syiar-syiar tersebut. Namun demikian sekedar syiar-syiar saja tidak mempunyai arti jika sesuatu yang lebih pokok dan urgen diabaikan, yaitu penegakkan dan pemberlakuan hukum Islam yang hanya mungkin dilaksanakan oleh pemerintahan Islam. Sebagaimana dikatakan oleh Dr. Abdurahman bin Mu’ala Al Luwaihiq, syiar-syiar tesebut menjadi cermin pertama bahwa negeri tersebut negeri Islam. Bukan berarti negeri tersebut sudah menjadi negeri Islam secara penuh, namun sekedar tanda saja. Bila ada pelanggaran lain seperti tidak diberlakukannya hukum Islam maka negeri tersebut tidak bisa dinamakan negeri Islam.[26] 

KESIMPULAN :
Dari berbagai pendapat di atas, para ulama menyimpulkan bahwa sebuah negara baru bisa disebut negara Islam kalau memenuhi dua persyaratan :
q   Pemerintah yang berkuasa adalah orang Islam.
q   Pemerintah tersebut memberlakukan hukum Islam sebagai satu-satunya hukum yang berlaku dalam negara.
Kedua syarat ini akan melahirkan buah yang nampak dan dirasakan oleh seluruh warga negara ; baik kaum muslimin maupun ahlu dzimah yaitu keamanan. Definisi ini selaras dengan kandungan makna QS. Al Nuur :55.
Dengan demikian, negara Islam adalah negara yang berjalan di dalamnya hukum-hukum Islam, diatur oleh kekuasaan kaum muslimin dan kekuatannya berada di tangan kaum muslimin. Di bawah ini kita sebutkan kesimpulan para ulama yang menyebutkan dua syarat di atas :
a)      Dr. Ismail Luthfi Fathoni :
Setelah kita paparkan pendapat para fuqoha' tentang pengertian dua negara tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwasanya syarat utama disebut Daarul Islam atau Daarul Kufri menurut mereka adalah (1) hukum dan (2) kekuasaan yang berlaku. Apabila yang berlaku di dalamnya itu hukum Islam dan berada di bawah kekuasaan kaum muslimin maka negara ini adalah daarul Islam dan sebagai akibatnya adalah kaum muslimin tinggal di dalamnya dengan aman. Sebaliknya, apabila hukum Islam tidak berlaku, kekuasaan dan kekuatan berada di tangan orang-orang kafir, maka negara ini adalah daarul harb, walaupun dalamnya ada kaum muslimin dan berbatasan dengan negara-negara Islam. Sebagai akibatnya kaum muslimin di negara tersebut tidak merasa aman dengan mempunyai jaminan keamanan dari kaum muslimin.
Dapat kita fahami secara pasti bahwa hukum Islam itu tidak akan mendominasi kecuali memang kekuasaan berada di tangan kaum muslimin yang melindungi hukum-hukum tersebut dari musuh-musuh yang mau menyerang penganutnya atau mau menghapusnya. Karena kekuasaan orang-orang kafir tidak akan mungkin melindungi hukum-hukum Islam, maka tidaklah mungkin hukum-hukum Islam berjalan kecuali sebagian syi'ar-syi'ar yang yang diizinkan oleh penguasa tersebut karena "kebaikan" mereka, itu pun sebatas yang tidak bertentangan dengan hukum-hukum kafir yang berkuasa di negara tersebut.
Oleh karena itu tidaklah cukup hanya dengan berlakunya sebagian dari syi'ar-syi'ar ibadah sebagai kebaikan dari kekuasaan orang-orang kafir untuk dinamakan daarul Islam (haqiqotan wa hukman). Berdasar hal inilah Imam Abu Hanifah berkata sebagaimana yang dinukil oleh Al-Kaasaani,"Sesungguhnya maksud dari penisbatan negara kepada Islam atau kafir bukanlah Islam dan kafir itu sendiri."
Artinya kalau keamanan itu secara mutlak dirasakan kaum muslimin dan ketakutan itu secara mutlak dirasakan orang-orang kafir, maka negara ini adalah daarul Islam. Bila keamanan itu secara mutlak dirasakan orang-orang kafir dan ketakutan secara mutlak dirasakan kaum muslimin, maka nagara ini adalah daarul kufri. Kemudian Al-Kaasaani mengomentari," Yang dimaksud dengan perkataan beliau "keamanan secara mutlak" adalah tidak perlunya meminta perlindungan dan keamanan."
Perlu diperhatikan disini bahwasanya di samping faktor berjalannya hukum, Imam Abu Hanifah juga memfokuskan pada seputar eksistensinya kekuasaan di dalam menamakan sebuah negara, karena keamanan adalah tanda dari eksisensinya kekuasaan. Sebagaimana dikatakan oleh As-Sarakhsi ketika memberikan definisi daarul Islam," Nama bagi sebuah tempat yang berada dibawah kekuasaan kaum muslimin, dan tandanya adalah kaum muslimin aman tinggal di dalamnya. Adapun tempat yang kaum muslimin tidak aman di dalamnya maka tempat tersebut adalah bagian dari daarul harbi." Di tempat yang lain beliau berkata," Yang dijadikan patokan pada sebuah negara adalah kekuasaan dan kekuatan di dalam memberlakukan hukum."…..
M. Rosyid Ridlo berkata," Sesungguhnya banyak terdapat di negara-negara yang penguasanya orang-orang Islam, orang yang terkena musibah pada agamanya sehingga tidak mampu melaksanakan apa yang ia yakini dan tidak bisa mengerjakan segala apa yang wajib ia lakukan apalagi amar makruf nahi mungkar dan mengkritik penguasa yang menyeleweng dari syari'at. Negara semacam ini menurut sebagian ulama' adalah daaru harbin." …..
Setelah menjelaskan panjang lebar, Dr. Ismail menyimpulkan :

Kesimpulannya;
Sesungguhnya benarnya penamaan Daarul Islam dan Daarul Harbi dimulai oleh para fuqoha' dengan adanya dua syarat pokok, yaitu: (a) berlakunya hukum dan (b) adanya kekuasaan. Apabila hukum-hukum yang berlaku di negara tersebut hukum Islam serta kekuasaan dan kekuatan dipegang oleh imamul muslimin, maka negara itu adalah daarul Islam, dan tandanya adalah kaum muslimin di sana dalam keadaan aman secara mutlak. Adapun bila hukum-hukum yang berlaku di dalamnya hukum kafir serta kekuasaan dan kekuatan dipegang oleh orang-orang kafir, maka negara itu adalah daarul harbi, dan tandanya adalah kaum muslimin di sana dalam keadaan tidak aman. Wallahu A'lam.[27] 
b)     Dr. Abdullah Ahmad Qadiri :
Daarul Islam adalah bumi di mana hukum-hukum Allah menang (dhuhur) di dalamnya, dan hukum-hukum Allah tak akan menang kecuali kalau penguasanya adalah kaum muslimin yang multazimin (komitmen) dengan syariah-Nya dan menerapkan hukum-Nya di bumi."
Tapi apa makna dhuhuru hukum-hukum Islam dan dhuhur hukum-hukum kafir ? Yang nampak dari ayat-ayat Al Qur'an yang telah lalu dan ayat yang semakna dengannya, maksud dari dhuhur hukum-hukum Islam : hendaknya hukum-hukum Islam dominan (menang) dan kalimat kaum muslimin berlaku ; syiar-syiar dan rukun-rukun Islam ditegakkan, hudud dan qishash dilaksanakan, hak-hak kaum terdzalimi diambil dari orang yang dzalim, panji tauhid berkibar tinggi, kesyirikan tumbang. Atau dengan kata lain ; undang-undang yang dihormati dan dijadikan tempat kembali adalah hukum Allah, bukan hukum kafir." 
Kesimpulannya, sesungguhnya daarul Islam adalah negara di mana hukum-hukum Allah menang (nampak) dan hukum kafir tersembunyi. Sedang daarul kufri adalah negara di mana hukum kaifr menang (nampak) dan hukum Islam tersembunyi."
Seyogyanya dipahami bahwa tidak mungkin akan ada dhuhuru hukum-hukum Islam di sebuah negeri yang diperintah oleh orang-orang kafir. Kecuali jika yang dimaksud adalah nampaknya sebagian syiar-syiar yang diizinkan oleh pemerintah tersebut sebagai sebuah kebaikan dari mereka. Dengan adanya hal itu tidak boleh menjadikan negara tersebut disifati sebagai daarul Islam, karena hukum-hukum Islam harus ada sultan yang melindunginya ddari upaya yang mengancam pemeluknya (kaum muslimin) maupun mengancam untuk menghilangkan hukum Islam. Selama kaum muslimin di negara tersebut tidak mempunyai sultan yang memenangkan (menampakkan) hukum-hukum dien mereka dalam seluruh aspek kehidupan mereka, maka mereka terancam oleh ancaman dan usaha menghalangi mereka dari menampakkan hukum-hukum Islam.[28]


c)      Dr. Salamah Daqas :
Dr. Salamah Daqas dalam bukunya Al ‘Alaqat ad Duwaliyah fil Islam menyimpulkan,”Jelaslah dari pembagian dua negara ini bahwa ukuran standar untuk membedakan sebuah negara adalah adanya kekuasaan dan berjalannya hukum. Jika (kekuasaan dan hukum yag berjalan adalah) Islam, maka negara tersebut adalah daaru Islam. Jika bukan Islam, maka negara tersebut adalah daaru harbin. Dan ini sudah jelas berdasar definisi para fuqaha’ terhadap masing-masing negara.”[29]
d).   Dr. Abdullah Azzam :
“ Pendapat yang kuat dalam mendefinisikan daarul Islam menurut  jumhur fuqaha’ adalah bumi (daerah) yang kekuasaan politik yang memerintah berada di tangan kaum muslimin, syiar-syiar Islam ditegakkan dan hukum-hukum Islam dipraktekkan. Maknanya negara di mana pemerintahnya kaum muslimin dan undang-undangnya Islam sekalipun mayoritas penduduknya non muslim.”[30]

C.     Pendapat Para Ulama Tentang Darul Kufri

Dr. Abdulloh bin Ibrohim bin Ali Ath-Thuroiqi berkata," Para fuqoha' tidak berselisih pendapat pada pengertian Daarul Harbi sebagaimana yang terjadi pada pengertian Daarul Islam. Perkataan mereka saling berdeketan. Misalnya Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan, dua sahabat Abu Hanifah, memberikan pengertian,"Yaitu negara yang di dominasi oleh hukum kafir." Para ulama madzhab Hambali mendefinisikannya dengan," Negara yang dikuasai oleh hukum kafir."[31] 
Dr. Ali Nufai' Al Ulyani mengatakan," Para ulama telah menetapkan bahwa negara kafir adalah negara di mana hukum-hukum kafir menang dan berkuasa. Adapun negara di mana hukum-hukum Islam menang dan berkuasa, maka itulah negara Islam sekalipun tidak dihuni kecuali oleh kaum dzimi (syaratnya--pent) jika penguasa yang mengatur mereka adalah orang Islam yang menegakkan hukum Allah Azza Wa Jalla di antara mereka."[32]
Dr. Ismail Luthfi Fathoni memberikan definisi," Daarul Harbi adalah negara yang berjalan di dalamnya hukum-hukum kafir serta kekuasaan dan kekuatan tidak berada di tangan kaum muslimin."[33]
Syaikh Abdurahman bin Nashir As Sa’di berkata,” Daarul Kufri adalah negara yang diperintah oleh orang-orang kafir, hukum-hukum kafir diberlakukan dan kekuasaan berada di tangan orang-orang kafir.”[34]
Dr. Abdullah Azzam berkata,” Daarul kufri adalah negara yang di dalamnya tidak dipraktekkan undang-undang Islam sekalipun mayoritas penduduknya kaum muslimin, atau negara yang tidak menjadikan Islam sebagai dasar dalam mengadakan hubungan baik di dalam negeri tersebut maupun dan dalam berhubungan dengan negara lain.” tidak  menggunakan dasar Islam.[35]
Dr. Abdullah Qadiri juga menyatakan,” Negeri manapun bila kekuatan dan kekuasaan berada di tangan oang-orang kafir yang menerapkan hukum-hukum kafir dan menjauhkan hukum-hukum Islam dari kehidupan manusia di bidang politik, sosial dan militer dan kaum muslimin tidak bisa menerapkan hukum-hukum Islam kecuali apa yang diizinkan oleh orang-orang kafir pemegang kekuasaan, (itupun sebatas)  hukum-hukum yang kalimat Allah tidak bisa tegak dengannya dan panji kekafiran tidak jatuh dengannya, maka negeri yang terdapat hal-hal ini adalah daaru kufrin, bukan daaru Islam. Sekalipun mayoritas penduduknya kaum muslimin, sekalipun para penguas kafir tersebut mengaku dirinya muslim. Karena kesimpulan hukum mengenai daaru Islam diambil dari dhuhur hukum-hukum Allah di negara tersebut dan keadaan kalimat Allah adalah yang tertinggi. Sementara kesimpulan hukum mengenai daaru kufri diambil dari dhuhurnya hukum-hukum kafir dan manahijul hayat (way of life) di neegri tersebut manahijul kufri, bukan manahiju Islam.”[36]

D.     Daarul  Shulhi Dan Daarul 'Ahdi

Yang dimaksud dengan Darush Shulhi adalah suatu negara yang penduduknya telah mengadakan perjanjian damai dengan Imaamul muslimin dengan syarat-syarat yang telah disepakati antara dua belah pihak, atau negara yang ditaklukkan oleh kaum muslimin dengan jalan damai. Negara seperti ini ada dua macam;
Pertama: dengan perdamaian itu tanahnya menjadi milik kaum muslimin dan dibiarkan digarap oleh ahlush shulhi. Dalam hal ini tidak ada perselisihan dikalangan fuqoha' bahwasanya ia termasuk Daarul Islam.
Kedua: dengan perdamaian itu tanah negeri tersebut milik mereka dan mereka membayar khoroj kepada kaum muslimin. Dalam hal ini terjadi perselisihan di antara fuqoha' :
1)       Pendapat yang menyatakan negera tersebut menjadi negara Islam dan penduduknya menjadi ahlu dzimah, mereka wajib membayar jizyah atau kharaj.
Ini pendapat Hanafiyah, Syafi’iyah, sebagian Hanabilah dan Imamiyah dan juga dhahir pendapat Malikiyah.  Dasar pijakan pendapat ini adalah :
-  Syarat yang disepakati oleh para ulama untuk berubahnya sebuah negara kafir menjadi negara Islam adalah berlakunya hukum Islam di negara tersebut  dan negara tersebut dibawah kekuasaan Islam. Sementara shulhu tidak akan terjadi bila dua syarat ini tidak terpenuhi.
- Syarat diadakannya shulhu pada masa Rasulullah dan para shahabat senior adlah membayar jizyah atau kharaj kepada umat Islam, sebagai bentuk andil orang-orang ahli dzimah kepada tentara Islam yang menjaga dan membela negara tersebut.
- Kaum muslimin tidak akan mengadakan shulhu ini kecuali kalau kondisi mereka kuat dan di atas angin, seperti dilakukan oleh Rasulullah kepada penduduk Najran.
Ibnul Qoyyim mengatakan :
" Kata Al-Shulhu umum mencakup segala perdamaian baik perdamaian antara sesama kaum muslimin maupun perdamaian dengan orang-orang kafir. Akan tetapi banyak dari kalangan fuqoha' menggunakan istilah tersebut untuk ahlu dzimmah yaitu orang-orang yang membayar jizyah. Dan bagi mereka ini status dizmmah dalam waktu yang tidak terbatas, dan mereka ini telah berjanji untuk tunduk kepada hukum Alloh dan Rosul-Nya, karena mereka tinggal di negeri yang berlaku di dalamnya hukum Alloh dan Rosul-Nya.[37]
Pendapat ini adalah pendapat yang lebih kuat, sebab sesungguhnya Imamul Muslimin tidak boleh memberikan damai dan dzimmah kepada orang-orang musyrik kecuali dengan dua syarat sebagaimana pendapat Imam Asy-Syafi'i, yaitu:
1.      Mereka harus mengikuti hukum Islam.
2.      Mereka harus membayar jizyah atau yang semisalnya kepada kaum muslimin.
Konsekuensinya maka kekuasaan harus berada di tangan kaum muslimin dan imamul muslimin berkewajiban melindungi mereka.[38]
2)      Pendapat yang menyatakan shulhu tidak merubah status negara tersebut, artinya negara tersebut tetap negara kafir.
Ini pendapat Ibnu Rajab Al Hanbali. Pendapat ini seperti dikatakan oleh Dr. Ismail Luthfi adalah pendapat yang asing dan tidak berdalil.[39]
3)      Pendapat yang menyatakan negara tersebut berubah menjadi daaru ‘ahdin atau daaru shulhin.
Ini pendapat imam Al Mawardi Asy Syafi’i dan Abu Ya’la Al Farra’ Al Hanbali, dan dijadikan alasan oleh sebagian ulama kontemporer, seperti Dr. Muhammad Abu Zahrah, Dr. Muhammad Najib Al Aramnawi, Dr. Wahbah Zuhaili dan Dr. Muhammad Salam Madkur, untuk menyatakan adanya jenis negara ketiga yaitu daaru ‘ahdin atau daaru shulhin.  Padahal maksud daaru ‘ahdin atau daaru shulhin di sini adalah berdasar faktor kepemilikan tanah, bukan berdasar faktor pemerintah yang berkuasa dan hukum yang berlaku. Pendapat ini juga lemah, karena Rasulullah telah mengadakan shulhu dengan penduduk nasrani Najran dengan catatan : tanah menjadi milik mereka dan mereka membayar kharaj. Syarat ini saja belum cukup,  karena Rasulullah mensyaratkan berlakunya hukum Islam di antara mereka : Rasulullah mengirim Umar bin Hazm sebagai wali (gubernur) yang memungut kharaj dari mereka, dan mengutus Abu Ubaidah bin Jarah sebagai hakim di antara mereka yang memutuskan perkara dengan hukum Islam. Dengan adanya shulhu ini, negara mereka (Najran Yaman) terhitung negara Islam. Karena itu pada masa Umar bin Khathab, beliau memindahkan mereka ke Najran Iraq karena mengkhawatirkan bahaya mereka atas kaum muslimin.[40]
         Dengan demikian, negara hanya ada dua saja ; daaru Islam dan daaru kufrin, tidak ada jenis negara ketiga daaru ‘ahdin atau daaru shulhin.
Sedangkan Daarul 'Ahdi atau Daaru Ahlil Hudnah adalah ahlul harbi yang mengadakan gencatan senjata dengan kaum muslimin dalam jangka waktu tertentu. Kesepakatan seperti ini disebut Hudnah, Shulh, Muwada'ah, Musalamah dan Mu'ahadah, namun yang banyak digunakan adalah istilah Al-Hudnah. Daarul ‘ahdi  termasuk Daarul Harbi karena ia masih di bawah naungan hukum kafir.[41]

E.      Kapan Daarul Islam Berubah Menjadi Daarul Kufri ?
Berubahnya sebuah negara dari daaru Islam menjadi daaru kufri, atau sebaliknya merupakan suatu hal yang mungkin saja terjadi. Kasus ini bisa digambarkan sebagai berikut :
[a]. Ahlu Harbi menguasai salah satu dari daaru Islam.
[b].  Penduduk daaru Islam murtad dan memberlakukan hukum kafir.
[c]. Ahlu dzimah melanggar perjanjian dan menguasai negeri mereka.[42]
Dari sini timbul pertanyaan, kapan status sebuah negara Islam berubah menjadi negara kafir atau sebaliknya ? Dalam hal ini para ulama' berselisih pendapat[43] :
Pendapat pertama:
Apabila hukum kuffar mendominasi dan syari'at Alloh disingkirkan maka daerah tersebut telah berubah menjadi Daarul Kufri walaupun mayoritas penduduknya Islam. Ini adalah pendapat jumhur fuqoha', Abu Yusuf, Muhammad, madzhab Hambali, sebagian dari Az-Zaidiyah dan Mu'tazilah.
Pendapat kedua:
Bahwasanya Daarul Islam tidak berubah menjadi Daarul Harbi kecuali setelah memenuhi tiga syarat sebagai berikut:
1.   Mendominasinya hukum kafir di dalamnya.
2.   Berbatasan dengan Daarul Kufri, sehingga tidak ada Daarul Islam yang memisahkan antara negara tersebut dengan Daarul Kufri.
3.   Tidak ada orang Islam atau orang dzimmi yang tinggal dengan jaminan keamanan dari kaum muslimin, artinya keadaan aman telah berubah dengan ketakutan. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan sebagian dari Az-Zaidiyah.
Pendapat ketiga:
Daarul Islam tidak berubah menjadi Daarul Harbi hanya dengan lenyapnya hukum Islam : selama syi'ar-syi'ar Islam atau sebagian besar syi'ar Islam masih tegak,  walaupun negara tersebut dikuasai oleh orang-orang kafir. Ini adalah pendapat madzhab Maliki, sebagian muta'akhirin madzhab Syafi'i dan begitu juga Al-Ibadhiyah, inilah pendapat Abdul Qodir Audah.[44]
Pendapat keempat: 
Apabila suatu negeri pernah dihuni kaum muslimin maka selamanya ia adalah Daarul Islam, walaupun mereka telah diusir oleh orang-orang kafir. Kalaupun ia dinamakan Daarul Harbi maka itu hanyalah shurohnya (dhahirnya,  defacto) saja dan bukan secara hukum (de jure). Hal itu disebabkan karena penguasaan orang-orang kafir itu tidaklah syar'i, dan kewajiban kaum muslimin adalah sedapat mungkin tetap tinggal di sana. Ini adalah pendapat Ali Juroisyah.[45]

Kajian terhadap masing-masing pendapat :
1- Pendapat Pertama :
         Dr. Abdullah Ath Thuraiqi mengatakan,” Kalau kita perhatikan dalil-dalil yang dibawakan oleh masing-masing pendapat, maka akan kita dapatkan sbb:
1.   Dalil-dalil yang digunakan oleh kelompok yang pertama yang mengatakan bahwasanya yang menjadi patokan adalah macam hukum dan penguasanya adalah kuat dan tidak ada kesamaran lagi. Karena pengaruh kekuasaan dan syariat yang dijadikan undang-undang itu sangat kuat sekali terhadap suatu negara dan penduduknya. Penduduk, walaupun ada yang melanggar undang-undang yang berlaku baik secara aqidah maupun akhlaq, namun penyelisihannya itu terbatas. Maka tetap sahlah kalau nagara tersebut dinisbatkan kepada (undang-undang) kekuasaan politik yang berkuasa. Apabila undang-undang itu Islam maka negara tersebut adalah Daarul Islam dan apabila bukan maka Daaru Kufri.
         Begitulah, juga telah ada ijma' yang mengatakan negara yang didominasi oleh syariat Alloh maka negara tersebut adalah Daarul Islam walaupun penduduknya atau mayoritas penduduknya bukan orang muslim. Demikian pula tentang Daarul Harbi.”[46]


         2- Pendapat Kedua
Dr. Abdullah At Thuraiqi menjawab pendapat ini dengan perkataan beliau,” Adapun dalil-dalilnya Abu Hanifah telah terdiskusikan dengan apa yang telah kami sampaikan di atas yaitu sebenarnya penisbatan negara kepada Islam atau kafir adalah Islam atau kafir itu sendiri, dan tandanya adalah bentuk hukum dan penguasanya.
Kemudian dikatakan: kadang terwujud keamanan di negeri yang asli kafir, sementara hukum Islam sama sekali tidak berlaku di dalamnya. Namun demikian negara tersebut tidak dikatakan Daarul Islam menurut ijma' para ulama'. Oleh karena itu kita dapatkan bahwasanya keamanan dan ketakutan itu tidak bisa kita jadikan patokan.”[47]
 3- Pendapat Ketiga
Adapun pendapat ketiga yang berpendapat bahwasannya menonjolnya syi'ar-syi'ar Islam cukup sebagai patokan, maka ini perlu dikaji lagi, karena banyak negara-negara kafir yang membolehkan menjalankan syi'ar-syi'ar Islam atau kebanyakan darinya, namun demikian tidak disebut sebagai Daarul Islam.[48]
4- Pendapat Keempat
Adapun kelompok terakhir yang berpendapat bahwasanya tinggalnya kaum muslimin di sebuah negara itu cukup untuk menjadikan sebuah negara itu menjadi Daarul Islam walaupun tidak tinggal selamanya karena diusir dari negara tersebut, pengertian ini tidaklah terperinci dan tidak jelas, sebagaimana yang telah kami terangkan di atas.
         Sedangkan beralasan dengan penguasaan orang-orang kafir itu hukumnya tidaklah syar'I (tidak sah). Maka alasan ini memang benar, namun hal itu tidaklah menghalangi untuk dinamakan Daarul Kufri karena kenyataan yang ada memang begitu.[49]
Dr. Ismail Luthfi Fathoni mengajukan sebuah kompromi dari berbagai pendapat ini dengan mengatakan :
" Setelah merenungkan tujuan-tujuan risalah Islam yang lengkap dan mencakup, yang memotifasi umatnya untuk berjihad secara terus-menerus dan supaya memiliki moral yang kuat dan optimis, tidak rela menerima kehinaan dan menyerah --- sebagaimana keadaan mayoritas umat Islam hari ini di mana orang-orang kafir menguasai negri-negri mereka -qoddarollahu wa maa syaa'a fa'ala --- serta untuk membela hak mereka, maka akan baiklah kalau kita kompromikan berbagai pendapat para fuqoha' seputar permasalahan ini.
Maka saya katakan :
[a]. Sesungguhnya Daarul Islam jika telah dikuasai oleh orang-orang kafir dan mereka melarang kaum muslimin untuk menjalankan semua hukum-hukum Islam, maka telah berubah menjadi Daarul Kufri haqqiqotan wa hukman.
[b]. Adapun jika orang-orang kafir atau hukum kafir menguasai di dalamnya, dengan adanya kekuasaan dan kekuatan di tangan orang-orang kafir, dan kaum muslimin bisa melaksanakan sebagian hukum Islam dan syi'ar-syi'arnya, maka boleh dikatakan bahwa negara tersebut telah menjadi Daarul Harbi haqiqotan atau shurotan bukan hukman.
Artinya saya sependapat dengan jumhur ketika mereka mengatakan bahwasanya Daarul Islam berubah menjadi Daarul Harbi cukup dengan berlakunya hukum kafir atau berkuasanya orang-orang kafir atasnya, ditinjau dari kenyataan yang nampak. Akan tetapi saya sependapat dengan madzhab Maliki dan sebagian dari golongan Syafi'i yang mengatakan bahwasanya Daarul Islam tidak berubah menjadi Daarul Harbi hanya dengan berkuasanya orang-orang kafir atasnya, selama kaum muslimin bisa bertahan dan melaksanakan sebagian hukum-hukum Islam dan syi'ar-syi'arnya, dan hal itu ditinjau dari hukumnya. Maka hukumnya fardlu 'ain atas kaum muslimin untuk mempertahankan negara seperti ini, selama mereka mampu melaksanakannya untuk merebut kembali hak-hak mereka yang telah dirampas oleh orang-orang kafir, dan juga kewajiban mereka adalah idhharul Islam di sana. Dengan demikian, kita bisa  menamakannya  dengan nama "Daarul Islam Al-Muhtallah” (negara Islam yang terjajah) atau "Daarul Islam Al-Mughtashobah “ (negara Islam yang terampas), atau “Daarul Islam Hukman”, atau nama semisal.
Pengkompromian ini adalah hal yang nampak dilakukan oleh sebagian Hanafiyah dan sebagian Syafi’iyah. Alasan-alasan pengkompromian pendapat di atas sebagai berikut :
Pertama: Para fuqoha' bersepakat bahwasanya Daarul harbi berubah menjadi Daarul Islam cukup dengan berjalannya hukum Islam di negeri tersebut. Maka tidak mungkin kita katakan ia sebagai Daarul harbi selama bagian dari hukum Islam dan syi'ar-syi'arnya yang dengannya dikatakan sebagai Daarul Islam, masih ada di kalangan kaum muslimin, karena kita memenangkan faktor hukum-hukum Islam atas  hukum-hukum yang lain, sebagaimana sabda Rosululloh shallallohu ‘alaihi wasallam:

اَلْإِسْلَامُ يَعْلُو وَلَا يُعْلَى عَلَيْهِ

 “ Islam itu tinggi dan tidak ada yang melampaui ketinggiannya."
Dan juga mempraktekkan perkataan sebagian ulama'  yang menyatakan “ Dengan masih tersisanya sebagian sebab, maka hukumnya pun tetap bersamanya.”
Kedua: Sebuah negara di mana sebagian dari hukum-hukum Islam tidak diberlakukan dari satu waktu ke waktu lain tidaklah bisa merubah statusnya sebagai Daarul Islam, selama ia telah dinamakan sebagai Daarul Islam atas dasar kesepakatan dan keyakinan, karena:
اَلْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلىَ مَا كَانَ إِلَّا أَنْ يَقُوْمَ الدَّلِيْلُ عَلىَ خِلَافِهِ
" Pada dasarnya status sesuatu itu tetap sebagaimana asalnya, kecuali ada dalil yang membedakannya"  dan :
مَا ثَبَتَ بِيَقِيْنٍ لَا يَرْتَفِعُ إِلَّا بِيَقِيْنٍ
 “ Sesungguhnya sesuatu yang telah tetap dengan keyakinan, tidak bisa dibatalkan kecuali atas dasar keyakinan pula."
Ketiga: Bagaimana mungkin sebuah negara yang dirampas orang-orang kafir dari tangan kaum muslimin berubah setatusnya menjadi Daarul Harbi Haqiqotan wa Hukman, padahal para fuqoha' telah menyatakan bahwasanya jihad untuk mengembalikan negara tersebut hukumnya adalah fardlu 'ain atas kaum muslimin. Karena kalau negara tersebut (dihukumi) Daarul Harbi maka jihad tidaklah Fardlu 'ain.
Namun demikian kami juga tidak memungkiri kenyataan, bahwasanya orang-orang kafir telah menguasainya dan hukum yang berlaku di dalamnya adalah hukum kafir dan thoghut, maka nama negara tersebut adalah milik mereka, walaupun secara hukum adalah milik kaum muslimin. Wallohu a'lam bish showab.[50]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mempunyai pendapat yang bagus dalam masalah ini. Beliau pernah ditanya tentang negara Maridin apakah negara tersebut Daarul Harbi atau Darus Silmi dan apakah kaum muslimin yang tinggal di negeri tersebut harus hijroh ke negeri Islam atau tidak ? (Bagaimana ketentuannya) Kalau ia wajib hijroh atau tidak hijroh, serta (apa hukum) memberi bantuan kepada musuh-musuh kaum muslimin apakah dengan demikian ia berdosa ? Apakah orang yang menuduhnya sebagai orang munafik atau mencelanya berdosa?.
Jawab:
Al-hamdulillah, harta dan darah kaum muslimin haram di mana saja mereka berada, baik di Maridin maupun di tempat lain. Dan memberi bantuan kepada orang-orang yang keluar dari syariat Islam adalah haram, baik mereka itu penduduk Mardin maupun yang lain. Orang yang tinggal di Mardin kalau tidak mampu melaksanakan agamanya maka ia wajib hijroh kalau ia mampu. Kalau tidak mampu berhijrah maka tidak wajib hijroh. Adapun memberi bantuan kepada musuh kaum muslimin baik dengan harta atau nyawa hukumnya haram dan mereka wajib menghindar dari hal tersebut dengan cara apapun yang memungkinkan seperti sembunyi atau berpaling atau berpura-pura dan kalau hal itu tidak mungkin kecuali harus hijroh maka ia wajib hijroh. Dan tidak halal mencela dan menuduh mereka dengan munafik secara umum akan tetapi celaan dan tuduhan munafik itu tertuju kepada orang yang memiliki sifat-sifat yang telah disebutkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, yang (bisa saja) terdapat pada penduduk Mardin dan penduduk negara lain. Adapun negara tersebut Daarul Harbi atau Daarus Silmi maka negara tersebut adalah negara yang mencakup arti dua negara tersebut : bukan seperti Daarus Silmi yang berlaku di dalamnya hukum Islam karena tentaranya adalah kaum muslimin, dan juga tidak seperti Daarul Harbi yang mana penduduknya orang kafir. Akan tetapi negara tersebut adalah negara ketiga, orang muslim diperlakukan sebagaimana mestinya dan orang-orang yang keluar dari syari'at Islam diperangi sebagaimana mestinya.”[51]
Dalam jawaban ini, syaikhul Islam tidak tegas menjawab negara Mardin sebagai negara Islam atau negara kafir, tapi menyatakan ada unsur Islam dan kafirnya. Islam karena penduduknya kaum muslimin dan kafir karena pemerintahnya keluar dari syariat Islam.
Dr. Ali Juraisyah menolak penamaan negara seperti ini dengan negara kafir, karena akan berakibat jihad melawan negara tersebut fardhu kifayah. Beliau mengatakan :
“ Kami sependapat dengan semuanya bahwasanya menegakkan syari'at Islam itu --- dan ini adalah dasar pertama dalam syariat --- adalah yang mendominasi ciri-ciri suatu negara itu secara syar'iI menjadi Daarul Islam.
Namun demikian selain itu ada hal yang kami tidak sependapat dengan jumhur dan Abu Hanifah…kami berpendapat atas dasar pendapat jumhur dan Abu Hanifah tersebut banyak sekali warisan -warisan Islam yang tidak termasuk Daarul Islam dan dari situ jihad untuk mengembalikannya tidak fardlu 'ain padahal hukumnya adalah fardlu 'ain; warisan-warisan peninggalan Islam di Rusia yang Atheis; di Kaukasus, Al-Qorm, Turkistan dll…warisan Islam di Andalusia yang dirampas oleh salibis yang dengki…warisan Islam di Palestina yang dirampas oleh Zionis keji, semua itu adalah hak kaum muslimin. Dan jihad untuk mengembalikannya adalah fardlu 'ain, namun demikian di dalamnya tidak terwujud keamanan bagi kaum muslimin, dan sebagiannya tidak mempunyai perbatasan dengan negri kaum muslimin.
Oleh karena itu kami berpendapat bahwasanya setiap negeri yang pernah berlaku hukum Islam sesaat adalah termasuk Daarul Islam, walaupun hukum Islam setelah itu disingkirkan…Walaupun kaum muslimin diusir dan walaupun telah hilang keamanan. Maka yang dijadikan patokan adalah tegaknya syari'at Alloh di negri tersebut pada suatu masa. Dan hukum-hukum yang berlaku setelah itu tidaklah dianggap kecuali sebagai hukum perampas yang hukumnya fardlu 'ain atas kaum muslimin untuk jihad melawannya.”[52]
Namun keberatan Dr. Ali juraisyah ini bisa dijawab, bahwa sesuai kesepakatan ulama negara tersebut adalah negara kafir. Hanya saja jihad mengembalikannya menjadi negara Islam bukanlah fardhu kifayah, namun fardhu ‘ain karena kekafiran negara tersebut bukanlah kafir asli melainkan kafir murtad. Dengan kata lain, jihad untuk mengembalikannya menjadi daaru Islam adalah jihad difa’I (defensif), bukan jihad hujumi (ofensif). Hal inilah yang terjadi pada masa khalifah Abu Bakar Ash Shidiq, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qudamah :
“ Apabila penduduk sebuah negeri telah murtad dan berlaku di sana hukum-hukum mereka (kafir) maka negara itu telah berubah menjadi Daarul Harbi dalam hal menjadikan harta mereka sebagai ghonimah, keturunan mereka yang lahir setelah murtad sebagai budak dan kewajiban Imam adalah memerangi mereka, karena sesungguhnya Abu Bakar ra. Memerangi orang-orang murtad bersama dengan sekelompok sahabat, dan juga karena Alloh telah memerangi orang-orang kafir di beberapa tempat dalam Al-Qur'an, dan mereka lebih berhak untuk diperangi karena kemungkinan kalau mereka dibiarkan, akan memotifasi orang lain yang semamacam mereka untuk meniru dan murtad bersama mereka, maka mereka banyak bahayanya. Dan apabila memerangi mereka sebagaimana memerangi orang-orang yang telah tertangkap (tidak diberi ampunan) yang kabur diburu, yang terluka dibunuh dan harta mereka dijadikan ghonimah. Dan ini adalah pendapat Asy-Syafi'i.”[53]
Dari sini imam Al-Mawardi menyatakan negara kafir karena murtad ini mempunyai hukum yang agak berbeda dengan negara kafir asli. Beliau mengatakan," Daarur Riddah mempunyai hukum yang berbeda dengan Darul Islam dan Daarul Harbi. Perbedaannya dengan Daarul Harbi ada dalam empat hal:
Pertama: tidak boleh mengadakan hudnah (gencatan senjata) dengan mereka dan membiarkan mereka tinggal di negeri mereka sedangkan dengan penduduk Daarul Harbi boleh.
Kedua: tidak boleh mengadakan shulh (damai) yang ditebus dengan harta mereka dengan membiarkan mereka dalam keadan murtad, sedangkan dengan penduduk Daarul Harbi boleh.
Ketiga: tidak boleh memperbudak mereka dan istri-istri mereka, sedangkan dengan penduduk Daarul Harbi boleh.
Keempat: harta mereka tidak dijadikan ghonimah, sedangkan harta penduduk Daarul Harbi dijadikan ghonimah.
Abu Hanifah mengatakan bahwa lantaran kemurtadan mereka itu negara tersebut berubah statusnya menjadi Daarul Harbi, mereka dijadikan budak, hartanya dijadikan ghonimah dan tanah mereka menjadi fai', dan mereka menurut beliau seperti orang-orang Arab penyembah berhala
Adapun perbedaannya dengan Daarul Islam juga empat hal:
Pertama  :  wajib memerangi yang melawan dan yang kabur.
Kedua      :  halal darah mereka baik yang tertawan maupun tidak.
Ketiga      :  harta mereka menjadi fai' bagi kaum muslimin.
Keempat : pernikahan mereka batal dengan berlalunya masa 'iddah walaupun mereka telah bersepakat untuk murtad.[54]
Berdasar keterangan dan dalil dari masing-masing kelompok ulama ini, nampaknya pendapat pertama  yang menyatakan negara yang semula daaru Islam bisa berubah menjadi daaru kufri atau daaru harbin dengan berkuasanya orang kafir atau murtad dan tidak berlakunya hukum Islam, sebagaimana pendapat jumhur ulama, adalah pendapat yang lebih kuat. Negara tersebut tetap dinamakan daaru kufri atau daaru harbin dan jihad untuk mengembalikannya tetap fardhu ‘ain bukan fardhu kifayah, karena kekafiran negara tersebut bukanlah kafir asli namun kafir murtad. Karena itu, sebagian ulama kontemporer menyebutnya dengan daaru Islam mughtashabah atau muhtallah atau daaru Islam hukman laa haqiqatan atau daaru kufrin haqiqataan laa hukman. Sekedar perbedaan penamaan bila telah disepkati konskuensinya tidak menjadi masalah. 
Dr. Abdullah Ahmad Al-Qadiri menjawab permasalahan ini dengan cukup jelas sekali, kata beliau:
“Dan tidak mesti penyebutan daaru kufri untuk negara tersebut berarti seluruh penduduknya juga kafir  Boleh jadi sebagian penduduknya adalah orang Islam yang terkuasai dan sebagian penduduk lainnya adalah orang kafir yang menguasai. Jadi soal banyak dan sedikitnya kaum muslimin tidak menjadi ukuran, karena terkadang negeri-negeri Islam dikuasai oleh orang-orang kafir dan mereka menerapkan hukum-hukum kafir di dalamnya, sehingga negara tersebut menjadi negara kafir. Sebagaimana juga terkadang negeri-negeri kafir dikuasai oleh kaum muslimin dan mereka menerapkan hukum Islam di dalamnya sehingga menjadi negara Islam. Demikianlah…dasar yang jehlas adalah realita yang ada, bahwa orang-orang kafir yang menerapkan hukum-hukum kafir dan mereka berjuang mati-matian  untuk melestarikan dan menguatkannya, jika ada yang menyeru mereka untuk menerapkan Islam dan memenangkan hukum-hukumnya (idhahur ahkam) sebagai ganti dari hukum-hukum kafir, tentulah mereka tidak akan menerima seruannya, bahkan mereka memusuhi dan memeranginya sebagaimana yang dilakukan oleh orangorang kafir di negeri-negeri kafir asli. 
Jika ada yang ingin menamakan negeri seperti ini dengan nama negeri murtad, silahkan saja, namun penamaan ini tidak merubah makna sedikitpun, ia tetap negara kafir. Wajib hukumnya menyeru penduduknya untuk kembali menerapkan Islam dan memerangi mereka kalau mereka terus bersikeras di atas kekafirannya.
Jika mayoritas penduduknya kaum muslimin, dan ini suatu kenyataan yang sulit untuk membayangkan negeri tersebut adalah negara kafir, maka sesungguhnya yang menghilangkan kesulitan menggambarkan negara tersebut sebagai negara kafir adalah jawaban atas beberapa pertanyaan berikut :
- Apakah jumlah kaum muslimin yang besar ini berhukum dengan hukum rabb mereka ataukah dengan hukum para thaghut yang memerangi rabb mereka ?
-    Apakah jumlah kaum muslimin yang besar ini memegang kekuasaan atas negeri mereka dan kendali atas segala urusan mereka ataukah berada di tangan orang-orang kafir yang memerintah mereka padahal mereka minoritas ?
-    Apakah mereka ditindas oleh kaum minoritas yang berkuasa, dengan penindasan yang mewajibkan mereka berhijrah ke negeri-negeri lain demi keamanan nyawa, kehormatan dan harta mereka ?
Jika jawabannya secara tertib adalah :
-          hukum yang berlaku adalah hukum para thaghut bukan hukum Allah,
-          kekuasaan berada di tangan minoritas orang-orang kafir bukan di tangan kaum muslimin yang berjumlah mayoritas,
-          dan penindasan terjadi oleh penguasa yang berjumlah minoritas atas kaum muslimin yang mayoritas.
Jika keadaannya demikian, maka bagaimana mungkin negeri seperti ini bisa disebut daaru Islam padahal Allah telah berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي اْلأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُوْلاَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
“ Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya:"Dalam keadaan bagaimana kamu ini". Mereka menjawab:"Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)." Para malaikat berkata:"Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah dibumi itu". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali.” [QS. An Nisa’:97].
Anda boleh menamakannya negeri Islam dengan tujuan menghasung kaum muslimin untuk berupaya dengan sungguh-sungguh menerapkan hukum-hukum Islam di negeri tersebut dengan jalan berjihad melawan pemerintah yang kafir dan menghilangkan singgasana tempat mereka berkuasa atas kaum muslimin.
Adapun jika kau namakan daaru Islamiyah dengan makna tidak ada perbedaan antara negara tersebut dengan daarul Islam yang sesungguhnya, maka justru inilah distorsi ansich. Hal ini pula yang menjadikan penduduk negeri-negeri tersebut dan negeri-negeri lainnya untuk menunda-nunda dan tidur tidak menyiapkan kekuatan dan berjihad melawan para thaghut kafir di negeri-negeri mereka. Apakah anda tidak melihat negera-negara kafir di Barat seperti Amerika dan sebagian negara-negara Eropa membiarkan kaum muslimin bebas melaksanakan syiar-syiar dien mereka, demikian juga dengan dakwah untuk emmeluk Islam dan mengingatkan umat Islam dengan dien Islam padahal mereka kinoroitas di negara-negara tersebut. Sementara mayoritas pemerintahan negara-negara yang disebut sebagai negara-negara Islam dan mayoritas penduduknya kaum muslimin justru mempersempir para da’i, memenjarakan mereka dan mengusir mereka dari negara-negara mereka. Bahkan kalau kondisi menuntut, mereka menghancurkan masjid-masjid di depan mereka dan menghalangi kaum muslimin dari kalimatul haq.
Pemerintah negara-negara tersebut, sekiranya muncul di negara-negara mereka orang-orang seperti Abu Bakar Ash Shidiq, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Abdul Aziz yang mengajak kepada Islam, tentulah pemerintah tersebut tetap memerangi mereka demi menolong system kafir mereka, yang dengannya mereka tetap berada di atas kursi kekuasaan mereka. Maka bagaimana bisa negara-negara yang mereka perintah seperti ini disebut sebagai daaru Islam dengan makna sesungguhnya ?”[55]
Sesungguhnya negara-negara yang semula adalah daaru Islam kemudian dikuasai oleh orang-orang kafir yang menerapkan hukum-hukum kafir dan memerangi hukum Allah, (hukumnya) lebih utama untuk (menjadi sasaran) jihad kaum muslimin demi mengembalikan i‘lau kalimat Allah di negara tersebut, apalagi jika mayoritas penduduknya kaum muslimin yang tertindas.
Dengan ini jelaslah bahwa di antara makna-makna yang mengalami distorsi dan tidak diketahui hakekatnya oleh kaum muslimin adalah makna daaru Islam dan makna Daaru kufri. Banyak kaum muslimin yang dikuasai oleh orang-orang kafir yang memenangkan hukum kafir dan memerangi Islam dan kaum muslimin. Namun kaum muslimin mengira negara mereka adalah negara Islam disebabkan pemerintah mengizinkan mereka untuk menegakkan sebagian syiar-syiar dien mereka yang pemerintah mengetahui bahwa syiar-syiar tersebut tidak membahayakan mereka. Jika mereka mengetahui ada bahaya dalam sebagian syiar Islam, mereka melarang dan memperkuat cekikan mereka kepada kaum muslimin. Jika kaum muslimin mengetahui makna ini, tentulah mereka tidak akan lalai dari mempersiapkan diri untuk berjihad fi sabilillah dan melakukan i’dad untuk jihad demi mengusir pemerintah yang mengotori negara mereka dengan memenangkan hukum-hukum kafir di negara tersebut dan merubahnya menjadi negara kafir setelah sebelumnya menjadi negara Islam.”[56]
 Inilah pendapat yang dikuatkan dan diperjuangkan oleh Syaikhul Islam syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dengan seluruh pengikut dan ulama yang sependapat dengan beliau :
q  Orang-orang murtad pada masa khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu diperangi. Negeri mereka disebut daaru harbin sekalipun mereka masih menegakkan syiar-syiar Islam minus zakat. Bahkan khalifah Abu Bakar mendahulukan memerangi mereka atas memerangi Persia dan Romawi.
q  Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para ulama dengan tegas menyatakan bahwa Mesir pada masa Bani Ubaidhiyah Fathimiyah adalah daaru Kufrin bukan daaru Islam, padahal kaum muslimin menegakkan syiar-syiar Islam.
q  Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para ulama melancarkan jihad ke segenap negeri-negeri Nejed karena menghukumi negeri-negeri tersebut sebagai daaru kufrin, sekalipun mayoritas penduduknya kaum muslimin.[57]
q  Imam Ibnu Hajar mengatakan,” Negeri Islam yang dikuasai oleh orang-orang kafir, hukumnya adalah negeri kafir.”[58]
q  Syaikh Hamd bin ‘Atiq berkata,” Para ulama muhaqqiqun telah menetapkan bahwa sebuah negeri jika telah dhuhu di dalamnya kesyirikan, dan hal-hal yang dilakukan secara terang-terangan, ajaran-ajaran dien telah dinihilkan, maka negeri tersebut adalah bilaadu kufrin, harta mereka dijadikan ghanimah dan harta mereka halal.”[59]
q  Jihad melawan negeri-negeri yang pemerintahannya murtad ini adalah fardhu ‘ain, bukan fardhu kifayah. Para shahabat memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat dengan memposisikan mereka sebagai orang kafir murtad, bukan orang Islam.[60] Wallahu A’lam bish Shawab.
q  Adapun hukum jihad memerangi pemerintah murtad atau pemerintah kafir yang menguasai negara Islam ini adalah fardhu ‘ain karena merupakan bentuk jihad difa’I (defensive) dan jihad ini didahulukan  atas jihad melawan orang-orang kafir di luar negara tersebut, karena pemerintah murtad ini adalah musuh yang terdekat.[61]

F.          Tinjauan Terhadap Negara-Negara Yang Ada Hari Ini
1-      Kekosongan Dunia Dari Khilafah Islamiyah dan Daarul Islam
         Abdul Hamid Al-Hindawi berkata,” Barang siapa memperhatikan keadaan kaum muslimin pada hari ini di belahan bumi manapun, akan mendapati kaum muslimin saat ini tidak mempunyai jama’ah yang sesuai dengan arti jama’ah yang pertama yaitu makna hissi atau ada juga yang menyebutnya dengan makna siyasi. Artinya mereka tidak berkumpul dalam rangka taat kepada satu imam, yang selanjutnya berarti mereka tidaklah mempunyai imam atau kholifah. Sebab dua hal tersebut (jamaah dan imam) saling berkaitan, jika ada imam pasti ada jama’ah dan jika ada jama’ah pasti ada imam. Keduanya saling berkaitan dan tidak bisa dipisah-pisahkan sebab tidak ada jama’ah tanpa imam.”
         Lalu beliau melanjutkan,” Oleh karena itu maka seluruh kaum muslimin hari ini tidaklah memiliki jama’ah dan imam. Mungkin sebagian orang akan menyanggah dengan adanya negara semacam Afghonistan karena negara tersebut adalah pemerintahan Islam dan benderanya adalah bendera Islam yang tegak di atas jihad fii sabilillah untuk menegakkan laa illaha illalloh Muhammadur rusuululloh dan memerangi kekuatan kafir semena-mena yang menentang Alloh swt.
         Yang benar bahwasanya Afghonistan meskipun  sebuah negara Islam hasil dari jihad islami yang baik yang menghadirkan kembali kepada kita sejarah para sahabat dan tabi’in yang berjihad untuk menegakkan bendera agama ini. Namun negara Afghonistan tidaklah memproklamirkan dirinya sebagai daulah khilafah dan pemimpinnya tidaklah memproklamirkan diri sebagai kholifah, juga tidak meminta kepada ahlul halli wal ‘aqdi untuk membai’at dan mengangkatnya sebagai kholifah serta ahlul halli wal ‘aqdi dari kalangan kaum muslimin tidak membai’atnya. Maka orang semacam ini jelas-jelas bukanlah kholifah atau imam bagi kaum muslimin walaupun ia memiliki sifat-sifat sebagai kholifah dan berhak untuk menjadi kholifah. Dalam hal ini Al-Juwaini berkata tentang orang yang memiliki hak untuk menjadi imam,”…kemudian jika ia menjauh dan menyendiri serta tidak menyeru kepada orang untuk mengangkatnya menjadi imam, ia tidaklah menjadi kholifah hanya sekedar karena mempunyai hak menjadi kholifah.” 
         Lalu beliau mengatakan lebih lanjut,” Dari sini maka status yang benar untuk negara Afghonistan adalah ia merupakan salah satu dari jama’ah-jama’ah kaum Muslimin yang berjihad di jalan Alloh dalam rangka memperjuangkan agama Alloh. Setiap muslim boleh berhijroh ke sana dan berjuang di bawah komandonya, sebagaimana ia juga boleh berjuang dengan jama’ah-jama’ah lain yang memperjuangkan agama Alloh dengan syarat jama’ah tersebut harus berada di atas manhaj nubuwah.”
         Setelah itu beliau menerangkan,” Apabila negara Afghonistan yang tidak ada perselisihan bahwa negara tersebut adalah negara Islam, yang memproklamirkan diri berpegang dengan Islam baik secara aqidah, syari’ah dan manhaj tidak disebut sebagai khilafah karena tidak menyerukan hal tersebut dan tidak dibai’at untuk itu, maka terlebih lagi negara-negara sekuler yang sejak awal memang menolak syari’at Islam sebagai undang –undang dan pedoman hidup manusia.” [62]
2-      Peliknya Permasalahan dan Rumitnya Pembahasan
         Dr. Abdulloh bin Ibrohim bin Ali Ath-Thuroiqi mengatakan:
Ketika memperhatikan keadaan kita, maka akan nampak beberapa permasalahan yang membutuhkan perenungan kita, yaitu :
a)      Kelemahan, perpecahan kaum muslimin dan berbilangnya negara-negara mereka serta adanya perbatasan-perbatasan antara satu negara dengan negara lain.
b)      Banyak negara-negara kafir yang hidup dengan aman tidak sebagaimana halnya sebagian dari negeri-negeri Islam. 
c)      Adanya negara-negara adidaya dari negara kafir yang berkuasa di muka bumi.
d)     Mayoritas negara-negara Islam tidak menjalankan hukum Islam secara sempuna, bahkan diatur dengan hukum–hukum positif dalam mayoritas aspek dan hukum. Bahkan hampir-hampir tidak ada negara Islam yang yang melaksanakan undang-undang Islam secara benar dan lengkap, kalaulah misalnya ada itupun tidak mengizinkan kaum muslimin yang berada di luar perbatasannya untuk hijroh ke negara tersebut.
e)      Hampir seluruh negara di dunia ini telah mengikat perjanjian satu dengan lainnya, disebabkan oleh perubahan pola hidup dan karena lemahnya kebanyakan negara sehingga terpaksa harus minta perlindungan kepada negara-negara yang besar. Ini ditambah lagi dengan semakin mudahnya sarana komunikasi dan transportasi.
f)       Terakhir, banyak sekali negara-negara yang mana Islam di sana dilecehkan, seperti Spanyol, Turkistan dan sekitarnya serta Palestina.
         Semua permasalahan ini nampak jelas bagi orang yang merenungkan kehidupan internasional sekarang ini. Dari sini kita perhatikan hampir-hampir tidak ada Daarul Islam yang sesuai dengan pendapat jumhur fuqoha’ yang mengatakan bahwasanya Daarul Islam adalah negara yang berlaku hukum Islam di dalamnya. Sebagaimana kita juga menyaksikan keterikatan dunia satu dengan yang lain dan adanya kebebasan beragama di banyak negara kafir, sementara pada saat tang sama kelemahan dan perpecahan melanda dunia Islam.
         Apabila kenyataannya demikian dan kita ingin menerapkan apa yang kita nyatakan tentang pembagian negara sebelumnya, maka kita akan mengalami kesulitan untuk mempraktekkannya. Karena kalau kita terapkan pernyataan kita pada kenyataan kita sekarang ini, maka konsekuensinya sebagai berikut:
1.      Setiap orang Islam yang tidak mampu idzharuddin, maka ia wajib hijroh dari negara yang ia tinggal di dalamnya, walaupun ia berada di dunia Islam, kalau ia mampu.
2.      Orang-orang Islam yang tinggal di negeri yang tidak menjalankan hukum Islam tidaklah berhak mendapatkan perwalian dari kaum muslimin, kecuali kalau mereka diperangi, maka mereka ditolong karena diri mereka secara individu dan bukan karena negara yang ia tinggal di sana, sebagaimana firman Alloh:
وَالَّذِيْنَ أَمَنُوْا وَلَمْ يُهَاجِرُوْا مَا لَكُمْ مِنْ وَلَا يَتِهِمْ مِنْ شَيْئٍ حَتَّي يُهَاجِرُوْا وَإِنِ اسْتَنْصَرُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَ بَيْنَهُمْ مِيْثَاقٌ.
“Dan orang-orang yang beriman namun belum hijroh, mereka tidak berhak mendapatkan perwalian dari kalian sampai mereka hijroh, dan jika mereka meminta pertolongan kepada kalian atas nama din  maka tolonglah mereka kecuali terhadap kaum yang mengikat perjanjian dengan kalian.” (QS Al Anfal: 72)
3.      Negara Islam harus memperlakukan negara-negara lain sebagai Daulah Muharibah. Negara tersebut harus memutuskan hubungan, memusuhi dan memeranginya baik dengan lisan atau dengan tombak, dan kaum muslimin tidak boleh dibiarkan saja tinggal di negara-negara tersebut selama hukum yang mereka gunakan bukan hukum Islam. Negara Islam tersebut juga harus membuka pintu hijroh.
4.      Apabila negara yang berbatasan dengan Daarul Harbi tidak melaksanakan hukum Islam dan tidak terdapat keamanan kita anggap Daarul Harbi, maka harta dan darah setiap muslim yang tinggal di sana menjadi tidak terjamin lagi ---s ebagaimana layaknya seorang harbi---, dan dengan demikian ia boleh bermuamalah dengan sistem riba menurut pendapat Imam abu Hanifah.
5.      Apabila negara-negara tersebut kita anggap Daarul Harbi, maka menurut pendapat imam Abu Hanifah juga, tidak ada qishosh dan diyat bagi orang muslim yang membunuh orang muslim lainnya walaupun sengaja.
Semua perkara di atas berat dan sulit bagi kaum muslimin untuk menerapkannya, lalu bagaimana jalan keluarnya??? [63]
3-      Penyelesaian Masalah
Bila kita mengkaji berbagai keterangan para ulama tentang negara di atas, maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa negara-negara yang ada di dunia pada hari ini berstatus daaru harbin, kecuali beberapa buah negara saja seperti Afghanistan. Hubungan dengan daaru kufrin adalah hubungan perang, karena tidak adanya gencatan senjata dengan negara Islam. Persoalannya, kondisi umat Islam saat ini berada dalam kelemahan sehingga banyak kewajiban yang tak mampu ditunaikannya, termasuk hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah daar ini, seperti masalah jihad dan hijrah. Oleh karena itu, keadaan kaum muslimin saat ini dianggap sebagai keadaan darurat sedangkan kaedah ushul menyatakan “Al Dharuratu Tubiihul Mahdzurat” (keadaan darurat menghalalkan hal-hal yang dilarang), artinya kita tidak diwajibkan untuk memperlakukan negara-negara yang ada di dunia ini yang tidak menjalankan hukum Islam sebagaimana memperlakukan Daarul Harbi, dikarenakan tidak mempunyai kekuatan dan kemampuan. Ketika itulah keadaan darurat ini dinilai sesuai dengan kadar darurat tersebut. Dan kaum muslimin -terutama para mukhlishin--- berkewajiban untuk memperjuangkan keadaan mereka dan keluar dari kesulitan ini. [64]
Memang benar, di dunia hari ini tidak ada khilafah Islamiyah. Namun dalam mensikapi berbagai pemerintahan yang ada tentunya tidak bisa dipukul rata, perlu dipilah-pilah sesuai kadar kedekatannya dengan Islam dan pelaksanaan hukumnya. Paling tidak, sebagaimana dikatakan oleh Abdul Hamid Al-Hindawi, pemerintahan yang ada hari ini bisa dikelas-kelas menjadi beberapa tingkatan :
1.      Pemerintahan – pemerintahan kafir lahir maupun bathin. Yaitu pemerintahan yang tidak menjadikan Islam sebagai agama resmi negaranya.
2.      Pemerintahan-pemerintahan kafir lahir dan bathin, walaupun ia menyatakan bahwasanya Islam adalah agama resmi negara tersebut, atau mengakui Islam sebagai salah satu sumber dari sumber– sumber perundang-undangan. Atau pemerintahan-pemerintahan tersebut menyeleweng dari pelaksanaan syareat Alloh dan menggantinya dengan undang-undang positif dan memisahkan Islam dari seluruh aspek kehidupan. Maka negara tersebut adalah negara sekuler, walaupun mengenakan nama Islam.
3.      Pemerintahan-pemerintahan yang menyatakan berpegang teguh dengan syareat Islam dan menjadikannya sebagai undang –undang secara umum dan melaksakan hukum-hukum Islam tersebut tanpa bersandar kepada undang-undang positif yang menyelisihi syareat Islam, walaupun negara-negara tersebut kadang tercampuri dengan kekurangan-kekurangan karena pelaksanaannya yang tidak sempurna pada masalah-masalah yang mendasar dari agama Islam.
4.      Negara-negara yang dibangun untuk menegakkan kalimat Allah, jihad fi sabilllah dan memerangi musuh-musuh siapa dan di manapun mereka berada sesuai dengan kemampuan, walaupun ada beberapa kekurangan dan perselisihan di dalamnya. Kita memohon kepada Allah supaya menegakkan para mujahidin di atas kebenaran, menyatukan kalimat dan shaf mereka, serta menghilangkan kekurangan-kekurangan yang ada pada shaf mereka.
Berpegang teguh dengan kebenaran dan keadilan menuntut seorang muslim untuk tidak bersikap sama dengan negara-negara ini. Rasulullah mengizinkan para shahabat untuk behijrah ke Habasyah padahal rajanya belum masuk Islam. Rasulullah memberi alasan atas izin itu dengan sabda beliau,” Di sana ada raja yang tidak mendzalimi seorang pun.” Tidak diragukan lagi, ini merupakan hal yang harus dijadikan pertimbangan seorang muslim. Seorang muslim tidak bersikap sama terhadap negara yang berhukum dengan Islam secara umum dengan negara yang menolak dan memerangi ajaran Islam atau negara yang menyatakan ia berdasar Islam secara lahir namun secara batin penuh dengan musuh-musuh Islam.[65]

G.        Syubhat dan Sanggahannya
         1- Daarul Harbi Hanyalah Negara-negara yang Memerangi Kaum Muslimin Saja
Para penulis kontemporer murid-murid orientalis menyelewengkan pengertian daaru Islam dan Daaru Kufrin. Mereka  mengatakan bahwasanya Daarul Harbi adalah negara yang nyata-nyata menyatakan perang terhadap kaum muslimin. Adapun negara-negara kafir yang tidak memerangi kaum muslimin secara terang-terangan maka bukanlah Daarul Harbi sekalipun tidak ada perjanjian damai dan gencatan senjata dengan kaum muslimin. Bahkan mereka sampai menganggap bahwa di dunia ini hanya ada satu macam negara saja dan tidak ada alasan yang membagi menjadi dua negara (daaru harb dan daaru Islam) selama tidak ada permusuhan terhadap negeri kaum muslimin.[66]
         Jawaban ;
Atas dasar pendapat mereka ini maka Rusia komunis dan yang bergabung dengannya dan  Amerika salibis dan yang bergabung dengannya kecuali Israel, bukanlah Daarul Harbi Wal Kufri yang wajib diperangi ketika mampu. Berdasar pendapat ini pula, kalau terjadi perjanjian damai dengan Israel maka tidak ada hukum jihad bagi kaum muslimin terhadap seluruh umat kafir di seluruh dunia selama kaum muslimin aman kalau pergi ke tempat mereka!!
Ini adalah kebodohan mereka atau pura-pura bodoh terhadap Daarul Kufri yang wajib bagi kaum muslimi untuk memerangi mereka selama-lamanya sampai mereka tunduk terhadap pemerintahan Islam kalau kaum muslimin mempunyai kemampuan untuk itu.
Para ulama’ Islam telah menetapkan bahwasanya Daaarul Kufri adalah negara yang dikuasai oleh penguasa dan hukum kafir. Adapun negera yang dikuasai oleh penguasa dan hukum Islam maka negara tersebut adalah Daarul Islam, walaupun yang tinggal di dalamnya hanyalah Ahludz Dzimmah apabila penguasa yang mengatur mereka adalah dari kaum muslimin dan memberlakukan hukum Alloh terhadap mereka.
Memang terkadang kaum muslimin berhenti tidak memerangi Daarul Kufri wal Harbi karena ada perjanjian sementara atau disebabkan karena kelemahan kaum muslimin. Namun pemberhentian peperangan ini tidak merubah statusnya sebagai Daarul Kufri wal Harbi, sebab negara Persia dan Romawi pada zaman nabi sebelum beliau memerangi mereka bahkan sebelum mereka memerangi kaum muslimin, statusnya bagi kaum muslimin adalah Daarul Kufri wal Harbi. Bahkan semua negara kafir yang tunduk kepada selain hukum Islam adalah Daarul Kufri wal Harbi, berlaku bagi mereka hukum-hukum Daarul Kufri, bahkan walaupun terjadi gencatan senjata dengan kaum muslimin seperti Makah pada masa Shulhul Hudaibiyah adalah Daarul Harbi karena tidak memberlakukan hukum Islam dan tidak tunduk kepada  pemerintahan kaum muslimin.
Para ulama menyatakan Mesir pada masa pemerintahan bani Ubaidiyah adalah daaru kufrin, padahal mayoritas penduduknya adalah kaum muslimin yang menegakkan syiar-syiar Islam seperti adzan, sholat berjama’ah, sholat Jum’at, sholat ied, sholat, zakat, haji dan lainnya. Meski demikian, para ulama tetap sepakat negara Mesir adalah daaru kufrin wa harbin disebabkan pemerintah yang berkuasa adalah kaum rafidzah yang menyelisihi syariat Islam.
Tentang Bani ‘Ubaidillah Al-Qodah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata:
Mereka muncul pada awal abad ke tiga. Ubaidulloh mengaku bahwa dirinya keluarga Ali dari keturunan dari Fathimah. Ia menampakkan ketaatan dan jihad fii sabilillah, lalu diikuti oleh beberapa kaum dari penduduk Maghrib, sampai mempunyai sebuah negara yang besar di Maghrib baginya dan anak-anaknya setelahnya. Lalu mereka menguasai Mesir dan Syam. Mereke menjalankan syariat-syariat Islam, menegakkan sholat Jum’at dan sholat berjamaah, mengangkat hakim-hakim dan mufti-mufti. Tetapi mereka melakukan berbagai kesyirikan dan penyelewengan terhadap syareat, dan sebagian mereka menampakkan kemunafikan. Maka para ulama’ berijma’ bahwasanya mereka adalah orang-orang kafir dan negara mereka adalah Daarul Harbi padahal mereka menjalankan syiar-syiar dan syariat-syariat Islam. Di Mesir terdapat para ulama’ dan ahli ibadah yang banyak, namun kebanyakan mereka tidak mengikuti kesesatan-kesesatan bani Ubaidiyah. Meski demikian para ulama’ tetap berijma’ terhadap apa yang kami katakan di atas. Bahkan sebagian para ulama’ senior yang terkenal kesholehannya berkata,” Seandainya saya memiliki sepuluh anak panah; akan  saya arahkan sebatang untuk orang Nasrani dan orang-rang harbi, sementara yang sembilan saya arahkan ke Bani Ubaid.” Ketiba Mahmud Zanki berkuasa, beliau mengirimkan sebuah pasukan yang besar, lalu merebut Mesir dari tangan mereka (bani Ubiad). Pasukan ini tetap berjihad melawan mereka (Bani Ubaid) walaupun di barisan Bani Ubaid ada orang-orang sholeh.
Ketika Mesir berhasil dikuasai, kaum muslimin sangat bergembira dan Ibnul Jauzi mengarang sebuah kitab tentang kejadian itu yang berjudul “An-Nashru ‘alaa Mishr”. Para ulama’ banyak membahas secara panjang lebar tentang kekafiran meskipun mereka menampakkan syiar-syiar Islam yang dhahir mutawatir sebagaimana yang telah kami sebutkan.”
Demikianlah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menegaskan bahwa para ulama’ telah berijma’ bahwasanya negara Bani Ubaid adalah daarul Harbi padahal di dalamnya banyak kaum muslimin dan mereka hidup aman di sana selama tidak menentang pemerintah dan peraturan negara yang kafir. Lantas apakah yang menyebabkan negara Bani Ubaid menjadi Daarul Harbi sedangkan negara-negara kafir hari ini bukan Daarul Harbi ?.[67]
2-      Negara-negara yang Bergabung Dengan PBB adalah Daarul ‘Ahdi yang Tidak Boleh Diperangi
Dr. Muhammad Abu Zahrah, Dr. Wahbah Az Zuhaili, Syaikh ‘Alal Al Fasy dan sebagian ulama kontemporer lain menyatakan bahwa negara-negara kafir yang tergabung dalam keanggotaan PBB disebut sebagai daaru ‘ahdin bukan daaru kufrin dan harbin, karena mereka terikat perjanjian kesepakatan damai “Piagam PBB.”
Jawab :
Pendapat ini mempunyai beberapa kesalahan yang fatal yaitu:
Pertama: Istilah Darul ‘Ahdi yang mereka katakan itu tidak lepas dari dua kemungkinan yaitu (a)Daaru Ahlish Shulhi atau yang dimaksud adalah (b) Daaru Muwada’ah. Kalau yang dimaksud adalah Daaru Ahlish Shulhi, maka sesungguhnya mengikat shulh atau dzimmah itu mempunyai syarat-syarat tertentu yang tak satu syarat pun yang terdapat pada dewan PBB. Dengan demikian, sesungguhnya kekuasaan dalam mengadakan dzimmah berada di tangan kaum muslimin,  bukan di tangan ahludz dzimmah. Sedangkan yang terjadi pada dewan PBB adalah sebaliknya, kekuasaan pada dewan tersebut berada di tangan selain kaum muslimin.
Dan kalau yang mereka maksud adalah Daaru Muwada’ah, maka sesungguhnya mengadakan muwada’ah (gencatan senjata) itu tidaklah merubah status negara tersebut sebagai Daarul Harbi. Dan selanjutnya mengadakan gencatan senjata itu adalah akad tidak wajib dan tidak kekal, imam boleh membatalkan perjanjian itu apabila ia melihat kemaslahatan bagi kaum muslimin. Lalu atas dasar apa pendapat ini dibangun???
Kedua: Sesungguhnya pendapat Syaikh Abu Zahroh dan orang-orang yang mengikuti beliau ini berarti meniadakan Daarul Harbi di dunia ini secara mutlak. Ini jelas meniadakan hukum-hukum Allah dalam masalah kenegaraan, juga meniadakan hukum Alloh dalam masalah jihad dan yang lainnya. Ini jelas  masalah yang sangat berbahaya, dosa besar dan laa haula wa laa quwwata illa billah. Dengan demikian pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa Daarul Harbi apabila masuk ke dalam keanggotaan PBB telah berubah statusnya menjadi Daarul ‘Ahdi adalah batil.[68]
Wallahu A’lam bish Shawab. Wal Hamdu Lillahi Rabbil ‘Alamin.


[1] .   Fi Mashadiri At Turats As Siyasi Al Islami hal. 106-109, Dr.  Nashr Muhammad  Arif.
[2] .   Ikhtilafu Ad Darain  hal. 23 ,  Al Isti’anatu  Bighairil  Muslimin   hal.  167,  Al Adabu Asy Syar’iyatu I/211- 212,  Al  Jami’ Liahkamil  Qur’an V/350-351,  Fatawa Al Aimah An Najdiyah IV/7-8, Al Jihadu Fi Sabilillah I/599, At Tasyri’u Al Jinaiyu fil Islam I/276.
[3] .   Ikhtilafu Daraini hal. 75-76 dan Al Jihadu Fi Sabilillah Haqiqatuhu wa Ghayatuhu I/599-603.
[4]    HR. Bukhari Kitabul Manaqibil Anshar  no. 3905.
[5].   HR. Muslim Kitabul  Jihad no. 4522.
[6] .  Ikhtilafu Daraini hal. 76, menukil sari Al Mabshuth  V/52.
[7] .  Al Isti’anatu Bighairil Muslimin hal.  170-172 .
[8] .  Al Isti’anah hal. 170.
[9] .  Ikhtilafu Daraini hal. 30-33.
[10].  Al Isti’anah hal. 170.
[11] .   Ikhtilafu Ad Daraini  hal.  30-33 dan Al Isti’anatu hal.  170-172
[12] . Ikhtilafu Ad Daraini hal. 30-32.
[13] . Al Adaabu Asy Syar’iyatu  I/212.
[14] . Fatawa Al Aimmah An Najdiyah  IV/6-7.
[15] . Al Wala’ wal Bara’ fil Islam hal. 270, Dr. Muhammad bin Sa’id  Al Qohthoni.
[16] . Fi Dzilalil Qur’an  II/874.
[17] .  ibid.
[18] . Al Isti’anatu hal. 172.
[19] . Ikhtilafu Ad Daraini  hal.  34-35.
[20].  HR. Bukhari Kitabul  Maghazi No. 4246 dan 4247. 
[21] . Fatawa Al Aimmah An Najdiyah IV/12.
[22] . Fatawa Al Aimmah An Najdiyah IV/9.
[23] . Ahamiyatu Al Jihad fi Dakwah Ila Allah hal. 363.
[24] . Al Isti’anatu hal.  172.
[25] . Al Jihadu Fi Sabilillah hal. 605.
[26] . Al Ghuluw  Fi Dien hal. 335.
[27] . Ikhtilafu Daraini hal. 33  -35 .
[28] . Al Jihadu Fi Sabilillah I/603.
[29] . Ibid I/608.
[30] . I’laanul Jihad  hal 25.
[31] . Al Isti’anatu hal.  173-174.
[32] . Ahamiyatul Jihad hal.  363.
[33] . Ikhtilafu Daraini hal. 30.
[34] . Al Wala’ wal  Bara’ fil Islam hal. 270.
[35] . I’laanul Jihad  hal. 26.
[36] . Al Jihadu Fi Sabilillah I/604.
[37] . Ikhtilafu Daraini hal 38, menukil dari Ahkamu Ahlidz Dzimmah. Lihat jugaAl-Mughni VIII/526-527.
[38] . Ikhtilafu Daraini hal 37-39.
[39] . Ikhtilafu Daraini hal 39-40.
[40] . Ikhtilafu Daraini hal 40-48
[41] . Ikhtilafu Daraini hal  57.
[42] . Ikhtilafu Daraini hal. 66.
[43] . Ikhtilafu Daraini hal.59-68, Al Isti’anatu  hal. 174-175.
[44] . At Tasyri’ al Jinai fil Islam  I/275-276.
[45] . Al Qaulul Qathi’ Fiman Imtana’a ‘ani Syarai’ hal. 156-157.
[46] . Al Isti’anatu hal. 176.
[47] . Ibid.
[48] . Ibid, hal. 176.
[49] . Ibid, hal. 176.
[50] . Ihktilafu Daraini hal. 67-68.
[51] . Majmu’ Fatawa XXVIII/240-241, Al Fatawa  Al Kubra III/532-533.     
[52] . Al Qaulul Qathi’ Fiman Imtana’a ‘ani Syarai’ hal. 156-157.
[53] . Al Mughni XII/283-284.
[54] . Al Ahkamu Al Sulthaniyah hal. 116-117.
[55] . Al Jihadu Fi Sabilillah Haqiqatuhu wa Ghayatuhu I/605-606.
[56] . Ibid  I/608.
[57] . Fatawa Al Aimmah An Najdiyah IV/149.
[58] . Fatawa Al Aimmah An Najdiyah IV/88.
[59] . Fatawa Al Aimmah An Najdiyah IV/167.
[60] . Fatawa Al Aimmah An Najdiyah IV/ 103,118, 121-122,,124,138.
[61] . Lihat Majmu’ Fatawa XXVIII/534, XXXV/158-159 dan risalah “Ma’alimu Thaifah Manshurah fi ‘Aqri Daaril Mu’minin hal. 7-9.
[62] Dirasat haulal jama’ah wal jama’at, hal. 102-104.
[63] .   Al-Isti’aanah, hal.181-182
[64] .  Al-Isti’aanah, hal.182-184.
[65] Dirasat haulal jama’ah wal jama’at, hal. 105-106.
[66] . Ahamiyatul Jihad hal. 362, para penulis yang dimaksud adalah Prof. Abdul Wahhab Kholaf dalam bukunya As Siyasah Asy-Syar’iyah, Dr. Wahbah Az Zuhaili dalam bukunya Atsaarul Harbi fil Fiqhil Islami, Dr. Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya Al-‘Alaqoot Ad-Dualiyah.[67] . Lihat: Ahammiyatul Jihad, Dr. Ali bin Nafi’ Al-‘Ulyani hal.362-365
[68] . Ikhtilafud Daroini, hal.56-57 

Testimoni