Label
Pengunjung
AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
I. PENGERTIAN AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH
1. DEFINISI SUNNAH
Secara Bahasa
Kata As-Sunnah yang mempunyai bentuk jamak/plural sunnah secara bahasa berarti sejarah [perjalanan hidup] dan jalan [metode] yang ditempuh.
Ibnu Mandhur berkata, ”Sunnah makna awalnya adalah thariq yaitu jalan yang ditempuh oleh para pendahulu yang akhirnya ditempuh oleh orang lain sesudahnya.”
Pengarang kamus Mukhtarush Shihah berkata, ”As-sunnah secara bahasa berarti sejarah dan jalan yang ditempuh baik itu jalan yang terpuji maupun yang tercela.”
Ath-Tahawy dalam Kasyfu Isthilahat wal Funun berkata, ”As-Sunnah secara bahasa adalah jalan, baik jalan itu terpuji [baik] maupun buruk.”
Ibnu Faris berkata dalam Mu’jam Maqayisi Lughah, ”Sunnah artinya perjalanan hidup. Sunnah Rasulullah artinya perjalanan hidup beliau. Sunnah juga berarti jalan/metode baik terpuji maupun tercela. Kata ini diambil dari kata sunan yang bermakna jalan seperti disebutkan dalam hadits:
“Barang siapa mengawali jalan yang baik maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya tanpa berkurang sedikitpun pahala mereka. Barangsiapa mengawali jalan yang buruk dalam Islam maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka. ”[Muslim no. 1017, juga no. 6800, 6801].
Ibnu Atsir dalam Nihayah 2/223 berkata, “Dalam hadits berulang kali disebutkan kata As-Sunnah dan pecahan katanya. Asal maknanya adalah sejarah hidup dan jalan yang ditempuh.” Makna ini juga disebut dalam hadits:
“Kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai kalau mereka masuk lubang biawak pun kalian akan ikut.” Para shahabat bertanya, ”Apakah mereka orang Yahudi dan Nashrani wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, ”Siapa lagi kalau bukan mereka?.” [Bukhari 3456, Fathul Bari VI/495, Muslim 2669/6781].
Begitu juga bila dikatakan, ”Shalat witir itu Sunnah maka maknanya adalah jalan/ hal yang diperintahkan dan dilaksanakan para shahabat dan Rasulullah.”
Dalam penggunaannya, apabila disebut kata Sunnah maka maknanya adalah jalan kebaikan saja. “Ia Ahlus Sunnah”, maka maknanya: ia adalah orang yang menempuh jalan yang lurus dan terpuji.
Secara Syar’i
Makna Sunnah berbeda-beda tergantung dari disiplin ilmu apa kita memandangnya. Berikut ini beberapa definisi Sunnah menurut masing-masing disiplin ilmu:3
1. Ulama Hadits: Ibnu Hajar mendefinisikannya sebagai apa yang datang dari Rasulullah baik perkataan, perbuatan, taqrir/penetapan/pendiaman maupun apa yang ingin beliau kerjakan. Ulama Hadits lain mendefinisikannya sebagai apa yang diterima dari Nabi baik perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau, baik sifat fisik maupun akhlak atau dengan kata lain perjalanan hidup beliau baik sebelum menjadi Nabi maupun sesudah menjadi Nabi. Dengan artian ini, As-Sunnah menjadi sinonim kata hadits, sumber hukum kedua dalam Islam.
2. Ulama Ushul Fiqih: Setiap yang datang dari Nabi [perintah] baik perkataan, perbuatan, maupun taqrir beliau selama bukan Al-Qur’an dan bisa menjadi dalil bagi sebuah hukum syar’i.
3. Ulama Fiqih: Sesuatu yang jelas/tegas dari Nabi namun tidak berhukum wajib. Sunnah dalam artian ini sinonim bagi kata mandub, mustahab. Dengan istilah Ulama Fikih lain, Sunnah adalah sesuatu yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak berdosa.
4. Kata Sunnah juga dipakai untuk sesuatu yang berdasar pada dalil syar’i, baik dari dalil Al-Qur’an, hadits Nabi maupun ijtihad shahabat. Ijtihad shahabat termasuk Sunnah berdasar hadits Nabi, “Ikutilah Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk sesudahku.” Di antara Sunnah shahabat adalah mengumpulkan Al-Qur’an yang berserakan ke dalam satu mushaf serta memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat dan orang-orang murtad. Shahabat Ali berkata, “Nabi menjilid (mencambuk) orang yang mabuk 40 kali demikian pula Abu Bakar. Umar menjilid orang yang minum minuman keras sebanyak 80 kali. Baik yang 40 maupun 80 kali itu sama-sama termasuk Sunnah.” [Muslim no. 1707, Ahmad I/82].
5. Kata Sunnah juga sering dipakai untuk anonim dari kata bid’ah. Suatu amalan disebut Sunnah bila ia sesuai dengan tuntunan wahyu/Rasulullah. Contohnya: kita katakan dzikir secara berjama’ah dengan suara keras sesudah shalat berjama’ah itu bid’ah (karena tidak dicontohkan oleh Nabi). Kata Sunnah juga sering dipakai untuk anonim dari kata Rafidzah/Syi’ah. Bila disebut kata Ahlus Sunnah/sunni misalnya, maka maknanya lawan dari kata syi’i/rafidzi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam [Minhajus Sunnah 2/163] berkata, ”Lafadz Ahlus Sunnah kadang dipakai bagi setiap orang yang mengakui kekhilafahan tiga khalifah [Abu Bakar, Umar, dan Utsman]. Dengan demikian semua kelompok termasuk di dalamnya kecuali Rafidzah.” Artian ini merupakan makna luas dari lafadz Ahlus Sunnah bila disebutkan secara bebas tanpa ada pembatas/qarinah.
6. Pembahasan kita kali ini adalah bidang aqidah karena itu definisi yang akan kita pakai juga definisi Sunnah menurut para Ulama Aqidah. Ibnu Rajab dalam Kasyfu Kurbah menerangkan bahwa Sunnah adalah jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para shahabat beliau. Jalan mereka selamat dari syahwat dan syubhat [keraguan]. Karenanya Imam Sufyan Ats Tsauri berkata, “Berwasiatlah kepada Ahlus Sunnah dengan kebaikan karena mereka itu orang-orang yang asing (sangat sedikit).”
Imam Fudhail bin Iyadh juga mengatakan, ”Ahlus Sunnah adalah orang yang mengetahui bahwa segala yang masuk ke perutnya hanya yang halal saja. ”Sebab, menjaga agar makanan yang dikonsumsi hanyalah makanan yang halal, merupakan salah satu sifat dan jalan yang selalu dijaga oleh Rasulullah dan para shahabat. Dalam perkembangannya, istilah Sunnah dipakai untuk aqidah yang benar dan bersih dari segala syubhat, seperti dalam masalah asma’ wa shifat, masalah taqdir, masalah keutamaan shahabat, dan lain-lain. Untuk menerangkan aqidah yang benar ini para ulama mengarang buku-buku yang mereka namakan buku As-Sunnah, seperti karangan Imam Ahmad dan al-Khallal. Sunnah yang sempurna adalah jalan yang bebas dari segala syubhat dan syahwat.
Secara ringkas bisa dikatakan bahwa Sunnah adalah petunjuk yang Rasulullah dan para shahabat berada di atasnya baik berupa i’tiqad, ilmu, perkataan, maupun perbuatan. Itulah Sunnah yang wajib diikuti, pengikutnya terpuji dan orang yang menyelisihinya dicela.1
Dr. Al-Buraikan menerangkan dengan baik sekali pengertian Sunnah ini dengan perkataan beliau, ”Makna Sunnah berarti mengikuti aqidah shahihah yang tsabitah {berdasar} pada Al-qur'an dan Sunnah Rasulullah.” Beliau juga mengatakan, ”Sunnah merupakan ungkapan untuk sikap ittiba’ (mengikuti) manhaj Al-Kitab dan As-Sunnah An-Nabawiyah dalam persoalan ushul dan furu’.”2
Berdasarkan penjelasan singkat di atas bisa kita pahami bahwa Ahlus Sunnah adalah orang yang mengikuti Sunnah dan berpegang teguh dengannya, yaitu para shahabat dan setiap muslim yang mengikuti jalan mereka sampai hari kiamat.
Ibnu Hazm berkata, ”Ahlus Sunnah adalah pengikut kebenaran. Selain mereka adalah ahlul bid’ah. Ahlus Sunnah adalah para shahabat dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka dari kalangan tabi’in, lalu para Ulama Hadits, lalu para Ulama Fikih dari satu generasi ke generasi selanjutnya sampai hari ini dan juga masyarakat secara umum yang mengikuti mereka baik di belahan bumi barat maupun timur.”
Dari sini jelas bahwa Ahlus Sunnah adalah setiap muslim yang mengikuti jejak para shahabat. Ahlus Sunnah bukan monopoli golongan tertentu. Tidak benar bila sebagian kelompok umat Islam menganggap dirinya sebagai satu-satunya Ahlus Sunnah sedangkan kelompok lainnya bukan Ahlus Sunnah. Ahlus Sunnah juga bukan sekedar nama, namun lebih dari itu, ia merupakan manhaj, jalan hidup para shahabat. Janganlah kita terjebak dalam pengakuan/dakwaan, karena ukurannya bukan nama, namun sesuai atau tidaknya jalan hidupnya dengan petunjuk Rasulullah dan para shahabat.
2. DEFINISI JAMA’AH
Secara Bahasa
Kata jama’ah secara bahasa berarti kelompok, bersatu, lawan dari kata berpecah belah. Dalam hadits banyak sekali disebutkan perintah untuk berjama’ah dan larangan untuk berpecah belah. Di antara hadits-hadits itu antara lain :
“ Siapa ingin tengah-tengahnya surga hendaknya ia selalu berjama’ah karena setan itu bersama orang yang sendirian dan menjauh dari dua orang”.[Ahmad I/18, Tirmidzi no. 2165, Al Hakim I/114, dishahihkan Albani].
“Barangsiapa melihat dari amirnya [kepala negara Islam] hal yang tidak ia senangi hendaknya ia bersabar karena siapa saja yang keluar dari jama’ah lalu mati maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.” [Bukhari 7054 dan 7143, Muslim 1849].
Dalam hadits-hadits yang menerangkan perpecahan umat Islam menjadi tujuh puluh tiga golongan disebutkan bahwa golongan yang selamat hanya satu yaitu jama’ah, dalam riwayat lain Maa ana ‘alaihi wa ash-habi [apa yang saya dan para shahabatku berada di atasnya, jalan para shahabat]. [Misalnya, lihat Ahmad IV/102, Abu Daud 4597, Al-Hakim I/128, Ad-Darimi 2521, dishahihkan Albani dalam Shahihah 204].
Secara Syar’i
Dari sekian banyaknya perintah untuk berjama’ah yang disebutkan dalam hadits, bisa dipahami bahwa ahlul jama’ah berarti orang yang mengikuti jama’ah. Sekarang timbul pertanyaan, apa makna jama’ah yang dimaksudkan oleh hadits-hadits ini?
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Secara global pendapat mereka bisa dikelompokkan menjadi lima pendapat, yaitu3:
1. Yang dimaksud dengan jama’ah adalah generasi shahabat. Dalam hadits-hadits tentang jama’ah disebutkan bahwa yang selamat adalah “Maa ana ‘alaihi wa ash-habi [apa yang saya dan para shahabatku berada di atasnya]. ”Ini merupakan pendapat khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dengan artian ini setiap orang yang beramal berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai pemahaman generasi shahabat bisa disebut Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
2. Yang dimaksud dengan jama’ah dalam hadits-hadits di atas adalah para Ulama Mujtahidin dari kalangan Ulama Hadits, Ulama Fikih, dan ulama-ulama lain. Artinya Ulama Mujtahidun menjadi panutan masyarakat. Bila masyarakat tidak mengikuti mereka akan tersesat. Yang berpendapat demikian adalah Imam Abdullah bin Mubarak, Ishaq bin Rahawaih, Imam Tirmidzi, para Ulama Ushul Fikih dan sekelompok Ulama Salaf. Di antara para ulama belakangan yang berpendapat demikian ini adalah Imam Muhammad Syamsul Haqq Adzim Abady, ulama yang mensyarah/menjelaskan Sunan Abu Daud dalam bukunya yang terkenal Aunul Ma’bud XII/342. Perlu kita jelaskan di sini bahwa ulama di sini bukan sembarang ulama. Ulama di sini adalah ulama yang benar-benar mengikuti Al-Qur’an, As-Sunnah dan petunjuk para shahabat. Itulah sebabnya para ulama semisal Yazid bin Harun, Ibnu Mubarak, Imam Ahmad, Ahmad bin Sinan, Ali Al Madini [guru imam Bukhari] dan Imam Bukhari menyebut mereka sebagai Ahlul Atsar wal Hadits/Ulama Hadits.
Maksud para ulama bukanlah membatasi bahwa yang namanya Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu hanyalah Ulama Hadits saja. Bukan, maksud mereka bukan demikian. Mereka hanya memberi contoh, bahwa Ulama Hadits termasuk pembesar/teladan dari kalangan Ahlus Sunnah, merekalah yang paling berhak disebut Ahlus Sunnah karena pada masa itu dan juga masa sekarang, Ulama Haditslah yang paling mengetahui dan memahami Sunnah Rasulullah dan para shahabat. Pada kenyataannya, ada juga Ulama Hadits yang melenceng dari Sunnah Rasulullah, mereka ini tidak disebut Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dengan demikian, patokannya bukanlah pakar dalam ilmu haditsnya, namun mengikuti Sunnah Rasulullah atau tidaknya.
3. Ijma’. Yaitu kesepakatan umat Islam dalam suatu masalah tertentu. Bila seluruh umat Islam telah mengadakan ijma’ maka wajib bagi mereka untuk mengikutinya. Orang yang menyelisihinya tidak termasuk sebagai Ahlus Sunnah. Misalnya umat Islam telah sepakat tentang wajibnya Shalat lima waktu. Orang yang berpendapat bahwa Shalat lima waktu itu tidak wajib, maka ia tidak termasuk Ahlus Sunnah. Banyak para ulama yang mengembalikan pendapat ketiga ini kepada pendapat kedua karena pada dasarnya yang berijma’ itu bukan umat Islam namun para Ulama Mujtahidun.
4. Kelompok mayoritas umat Islam (as-sawadhul a’dzam). Artinya jika suatu hal telah diyakini dan dijalankan oleh umat Islam maka yang menyelisihinya terhitung orang yang sesat dan bukan termasuk Ahlus Sunnah. Dengan catatan bahwa apa yang diyakini umat Islam ini benar-benar berlandaskan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pendapat ini pada dasarnya juga tidak berbeda dengan pendapat sebelumnya. Pendapat ini merupakan pendapat Abu Mas’ud al-Anshari, Uqbah bin Amir bin Tsa’labah al-Anshari dan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhum. Pendapat ini dijelaskan oleh asy-Syathibi, ”Dengan makna ini, maka yang termasuk dalam anggota jama’ah adalah para mujtahidin dan ulama serta orang-orang yang beramal dan berjuang berdasarkan syariat. Masyarakat umum juga termasuk karena mereka mengikuti para mujtahidin. Adapun kelompok selain mereka termasuk ahlul bid’ah dan tidak termasuk Ahlus Sunnah.”
5. Makna jama’ah adalah pemerintahan negara Islam/khilafah Islamiyah dengan seorang imam/khalifah. Siapa taat pada imam berarti mengikuti jama’ah dan siapa yang membangkang/memberontak berarti bukan Ahlus Sunnah/jama’ah. Orang yang mati dalam keadaan membangkang pada imam yang sah, maka ia mati seperti orang yang mati dalam keadaan jahiliyah. Yang berpendapat demikian adalah Ath Thabari, Ibnu Arabi, dan Al-Mubarakfuri.
Dari kelima pendapat di atas, para ulama menyimpulkan bahwa makna jama’ah pada dasarnya berkisar pada dua makna pokok:
1. Aspek Ilmiah
Yaitu bersepakat atas satu aqidah, satu manhaj yang benar yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah serta memahaminya sebagaimana pemahaman generasi shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan ulama mujtahidin sesudahnya yang terpercaya terhadap kedua sumber Islam ini. Pendapat ini merangkum pendapat no. 1,2,3 dan 4. Dalam hal ini, jama’ah artinya mengikuti kebenaran meskipun kita sendirian, dan meninggalkan kebatilan meski kebatilan itu dianut oleh mayoritas manusia di muka bumi ini.
Ibnu Mas’ud berkata, ”Jama’ah adalah apa yang sesuai dengan kebenaran meski engkau sendirian.”
Al-Lalikai juga berkata, ”Jama’ah adalah apa yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah meski engkau sendirian.”
Abu Syamah juga menegaskan: ”Kapan ada perintah untuk selalu menetapi jama’ah maka maknanya adalah selalu mengikuti kebenaran meskipun yang berpegang teguh dengan kebenaran itu sedikit jumlahnya dan yang menyelisihi kebenaran itu banyak. Kebenaran adalah apa yang dibawa oleh jama’ah pertama yaitu Rasululah dan generasi shahabat. Kebenaran sama sekali tidak diukur dari banyaknya pengikut kebatilan setelah masa shahabat.”
Ibnu Abil Izz al-Hanafi berkata: ”Jama’ah adalah jama’ah muslimin yaitu para shahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka sampai hari kiamat nanti”. Imam al- Barbahari mengatakan: ”Pedoman yang kami terangkan adalah bahwa jama’ah adalah para shahabat Rasulullah. Mereka itulah Ahlus Sunnah wal Jama’ah”.
Dr Abdul Karim Aql berkata, ”Jama’ah berarti salafnya [leluhur, nenek moyang] umat ini yaitu shahabat, tab’in, dan orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat nanti. Mereka berkumpul di atas Al-Kitab, As-Sunnah, dan atas imam-imam mereka, serta orang-orang yang berjalan di atas jalan Rasulullah, shahabat, dan pengikut mereka dengan baik.”
Asy Syathibi berkata: ”Sudah jelas bahwa jama’ah dengan makna ini tidak mensyaratkan banyak sedikitnya pengikut, tapi yang disyaratkan adalah sesuai tidaknya dengan kebenaran sekalipun diselisihi oleh mayoritas umat manusia. Karena itu ketika Abdullah ditanya tentang jama’ah yang harus diikuti, beliau menjawab, ”Abu Bakar dan Umar”. Beliau tetap menyebutkan beberapa nama sampai menyebut nama Muhammad bin Tsabit dan Husain bin Waqid. Orang yang bertanya berkata: ”Mereka semua telah mati, siapa yang masih hidup?” Beliau menjawab: ”Abu Hamzah As-Syukri.”
Nu’aim bin Hamad berkata, ”Jika jama’ah/masyarakat telah rusak maka ikutilah apa yang jama’ah pertama [shahabat] berada di atasnya, karena jama’ah itu adalah apa yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla.”
Abu Ya’kub Ishaq bin Rahawaih ditanya: ”Siapa kelompok mayoritas [As- sawadu al a’dzam] itu ?” Beliau menjawab: ”Muhammad bin Aslam dan para pengikutnya”. Kalau kau bertanya pada orang-orang bodoh tentang kelompok mayoritas tentulah mereka menjawab: ”Jama’atun Nas [mayoritas masyarakat]. Mereka itu tidak tahu bahwa yang dimaksud dengan jama’ah adalah ulama yang berpegang teguh kepada atsar Nabi dan jalan beliau. Siapa saja yang mengikuti ulama ini, itulah yang disebut al-jama’ah.”
Dr. Al-Aql menyebutkan: ”Tidak berarti Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu mayoritas manusia – kecuali pada masa shahabat dan tabi’in karena pada masa itu mayoritas manusia berada di atas kebenaran karena mereka selalu dibina oleh Rasul dan mereka dekat dengan masa nubuwwah. Adapun sesudah masa mereka, ukuran banyak tidaknya pengikut tidak menjadi patokan bagi benar tidaknya manusia, karena keumuman dalil-dalil yang menunjukkan banyaknya keburukan, perpecahan umat menjadi tujuh puluh tiga golongan, Islam akan kembali asing dll. -selama mereka tidak berada di atas kebenaran.”
Dr. Al-Hindawi berkata: ”Jama’ah dengan makna ini baru diketahui para pengikutnya dengan sikap mereka yang berpegang teguh dengan ushulud dien [pokok-pokok ajaran dien] yang diwariskan oleh salafnya umat ini [shahabat] yang mengikuti Nabi dan para shahabat.”
2. Aspek politik
Berjama’ah artinya berkumpul dan hidup di bawah sebuah negara Islam, di bawah kepemimpinan seorang imam/khalifah yang sah secara syar’i. Ini merupakan pendapat kelima dalam makna jama’ah seperti yang kita terangkan di atas. Selain para Ulama Salaf yang telah kita sebutkan di atas, para Ulama Mua’shirin juga menyebutkan hal ini. Dr Ridha Na’san al-Mu’thi dalam tahqiq dan dirasahnya atas kitab al-Ibanah ‘an Syari’ati al Firqah an Najiyah karangan Ibnu Bathah mengatakan: ”Bab ini menguatkan bahwa berjama’ah itu wajib dan keluar dari jama’ah itu tidak boleh, baik jama’ah dalam artian berkumpulnya umat Islam di bawah kepemimpinan seorang imam maupun berkumpulnya umat Islam di atas satu aqidah”.
3. DEFINISI AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH
Seperti telah dijelaskan, Sunnah merupakan ungkapan kesetiaan mengikuti manhaj Al-qur'an dan Sunnah dalam segala dimensinya, baik yang prinsipil maupun yang bukan prinsipil (furu’).
Sedang kata Jama’ah berarti orang-orang yang berkumpul. Tapi yang dimaksud dengan jama’ah dalam terminologi syari’at Islam adalah Rasulullah SAW, para shahabatnya, para tabi’in, dan semua generasi yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Rasulullah SAW telah ditanya tentang siapakah yang termasuk ‘golongan yang selamat’. Maka beliau terkadang menjawab: “Yang mengikuti aku dan para shahabatku”, tapi di lain waktu beliau menjawab: “Al-Jama’ah.”
Dengan demikian maka yang dimaksud “Ahlus Sunnah wal Jama’ah" sebagai kata majemuk adalah orang-orang yang mengikuti aqidah Islam yang benar, komitmen dengan manhaj Rasulullah SAW bersama para shahabat, tabi’in, dan semua generasi yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Rasulullah SAW bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَ سُنَّةِ الْخُلَفاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِي عُضُّوْا عَلَيْهِ بِالنَّوَاجِدِ
“Hendaklah kamu berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang lurus sesudahku, gigitlah ia dengan gigi gerahammu”. (Hadits Shahih) .
Sebab Penamaan Ahlus Sunnah Wal Jamaah :
Menurut Ibnu Taimiyyah, Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah madzhab yang sudah ada sejak dulu. Ia sudah dikenal sebelum Allah menciptakan Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Ahlus Sunnah adalah madzhab shahabat yang diterima dari Nabi mereka yaitu Muhammad SAW. Barang siapa menentang itu, menurut pandangan Ahlus Sunnah berarti ia pembuat bid’ah. 2
Ahlus Sunnah wal Jamaah merupakan kelanjutan dari jalan hidup Rasulullah SAW dan para shahabatnya. Kalaupun bangkit seorang imam- pada zaman fitnah dan keterasingan Ahlus Sunnah- yang menyeru manusia kepada aqidah yang benar dan memerangi pendapat yang menentangnya, maka ia tidaklah membawa sesuatu yang baru. Ia hanya memperbaruhi madzhab Ahlus Sunnah yang sudah usang dan menghidupkan ajaran yang sudah terkubur. Sebab aqidah dan sistemnya (manhaj) walau bagaimanapun tak akan pernah berubah.
Dan jika pada suatu masa atau disuatu tempat terjadi penisbatan madzhab Ahlus Sunnah terhadap seorang Ulama’ atau mujaddid (pembaharu), maka hal itu bukan karena ulama tersebut telah menciptakan sesuatu yang baru atau mengada-ada. Pertimbangannya semata-mata karena ia selalu menyerukan manusia agar kembali kepada As-sunnah.
Adapun mengenai awal penamaan Ahlus Sunnah wal Jamaah atau Ahlul Hadits ialah ketika terjadinya perpecahan dengan munculnya berbagai golongan sesat serta banyaknya bid’ah dan penyimpangan. Pada saat itulah Ahlus Sunnah menampakkan identitasnya yang berbeda dengan yang lain, baik dalam aqidah maupun manhaj mereka. Namun pada hakekatnya, mereka itu hanya merupakan proses kelanjutan dari apa yang dijalankan Rasulullah SAW dan para shahabatnya.
Para ulama seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Al-Isfirayaini menyebutkan bahwa dinamakan Ahlus Sunnah karena mengikuti jalan/petunjuk/Sunnah Rasulullah. Nama tersebut sebagai pembeda dari firqah-firqah sesat yang menyimpang dari apa yang telah dituntunkan oleh Rasulullah SAW dan sudah tersebar luas ketika itu.
II. NAMA-NAMA LAIN AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
1. AHLUL HADITS
Hadits adalah ucapan Rasulullah SAW. Ahlul Hadits adalah orang-orang yang dinisbatkan kepada orang yang menjadikan hadits Rasulullah SAW sebagai salah satu sumber penerimaan Aqidah Islam yang benar. Dalam hal ini sama saja apakah mereka itu Ulama Hadits atau Ulama Fikih atau Ulama Ushul Fikih atau orang-orang yang zuhud atau lainnya.
Penamaan mereka sebagai Ahlul Hadits dimaksudkan untuk membedakannya dengan Ahlul Kalam yang menganggap bahwa kalam mereka harus didahulukan atas hadits Rasulullah SAW dalam bidang aqidah. Alasannya hadits itu hanya memberikan indikasi yang bersifat hipotesis (zhanni), sedang akal mereka memberi indikasi yang bersifat yakini (mutlak), dan yang dituntut dalam masalah aqidah adalah yang bersifat yakini (mutlak). Dengan demikian hadits-hadits Rasulullah SAW dalam bidang aqidah sama sekali tidak berguna.
Ahlul Hadits semakna dengan Ahlus Sunnah, artinya mereka ini kelompok umat Islam yang paling berpegang teguh kepada Sunnah Rasulullah dan Jama’ah. Karenanya Imam Ahmad mengatakan: “Kalau mereka (Jama’ah) itu bukan Ahlul Hadits, saya tidak tahu lagi siapa mereka itu”. Imam Abu Ismail Ash-Shabuni dalam kitab beliau yang berjudul Aqidatus Salaf Ash-habul Hadits, menyatakan: “…Mereka itu mengikuti Nabi SAW dan para shahabat beliau yang mereka itu laksana bintang. Mereka mengikuti salafus shalih dari kalangan imam-imam dalam dien ini dan ulama kaum muslimin dan berpegang teguh dengan apa yang para ulama berpegang teguh padanya, yaitu dien yang kuat dan kebenaran yang nyata dan membenci ahlul bid’ah yang membuat bid’ah dalam dien, tidak mencintai mereka dan tidak pula bershahabat dengan mereka.”1
2. AHLUL ATSAR
Secara bahasa
Kata Atsar maknanya bekas, sisi, atau pengaruh.
Secara Syar’i
Ada dua pendapat dalam hal ini :
a. Mayoritas ulama mengatakan bahwa hadits, sunnah, dan atsar itu makannya sama.
b. Ulama Khurasan menyebutkan bahwa atsar khusus untuk perkataan dan perbuatan shahabat dan tabi’in. Sedang untuk Nabi, mereka menyebutnya dengan hadits atau sunnah.
Namun demikian pendapat mayoritas ulama lebih kuat, dikatakan: ‘Atsartu hadiitsan’, artinya: aku meriwayatkan sebuah hadits2. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Al-Iraqi dan Ibu Hajar.
Maka dalam hal ini, Ahlus Sunnah sering juga disebut dengan Ahul Atsar. Ahlus Sunnah disebut dengan Ahlul Atsar karena mereka mengikuti atsar-atsar yang diriwayatkan dari Rasulullah dan para shahabat.
3. SALAF
Secara Bahasa
Ibnu mandur berkata: “Salaf merupakan jamak dari kata salif. Salif artinya orang yang terdahulu sesuai urutan waktu (pendahulu, nenek moyang). Salaf artinya jama’ah (kelompok pendahulu). Salaf juga bermakna para pendahulu dari bapak-bapakmu dan kerabatmu yang secara umur dan kemuliaannya lebih tinggi darimu.
Secara Syar’i
Para ulama menyatakan bahwa makna salaf tidak jauh dari makna shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dari kalangan para ulama, dan imam terpercaya yang telah diakui keilmuan dan ittiba’nya terhadap Al-qur'an dan As-sunnah. Yaitu para ulama yang tidak terkena tuduhan bid’ah baik bid’ah mufassiqah ataupun mukaffirah1
Abdul Hadi Al-Mishri berkata : Salaf berarti istilah yang dipakai untuk para imam terdahulu dari tiga generasi pertama yang diberkahi dari kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in yang disebutkan dalam hadits Rasulullah : "Sebaik-baik generasi adalah… " Setiap orang yang beriltizam dengan aqidah, fikih, dan ushul (pokok-pokok pegangan) para ulama tadi maka ia dinisbahkan kepada salaf juga, sekalipun antara ia dengan mereka ada perbedaan ruang dan waktu. Sebaliknya setiap yang menyelisihi mereka tidak disebut sebagai salaf sekalipun ia hidup di tengah-tengah mereka dan dikumpulkan oleh ruang dan waktu yang sama. »
4. FIRQAH NAJIYAH (Golongan yang Selamat)
Selain Ahlus Sunnah, Ahlul Hadits, Ahlul Atsar, dan salaf; Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga sering disebut dengan Firqah Najiyah, didasarkan pada hadits-hadits yang menerangkan akan pecahnya umat Islam menjadi 73 golongan, di mana 72 golongan akan tersesat dan yang selamat (najiyah) hanya satu saja yaitu ‘ma ana ‘alaihi wa ash-habi’ (apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya – jama’ah dengan artian ilmu (mengikuti kebenaran), Ahlus Sunnah – dan dalam lafadz lain disebutkan Jama’ah’2
5. THAIFAH MANSHURAH (Kelompok yang Menang, Ditolong Allah)
Nama lain dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang disebutkan dalam hadits-hadits Rasulullah adalah Thaifah Manshurah. Banyak hadits-hadits yang menyebutkan hal ini.
Di antara hadits-hadits tersebut adalah yang diriwayatkan oleh shahabat Mughirah dari Nabi bahwa beliau bersabda: “Akan senantiasa ada manusia dari umatku yang menang (berada di atas kebenaran – pent) sampai datang kepada mereka urusan (keputusan) Allah sedang mereka dalam keadaan dhahirin (menang).” 3
Golongan yang mendapat pertolongan sebagaimana yang disebut dalam hadits-hadits Rasulullah SAW adalah golongan pejuang dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang memang layak untuk memperoleh pertolongan Allah, baik secara moral maupun material. Pertolongan Allah itu misalnya: ilmu yang shahih, perilaku yang lurus terhadap sunnah-sunnah Allah di alam semesta, serta melaksanakan hal-hal yang dijadikan Allah sebagai wasilah untuk mencapai hasil yang diharapkan. Jika tidak, atau jika hanya sekedar iman dan mengikuti aqidah Ahlus Sunnah tanpa menjalankan hal-hal yang bisa mendatangkan kemenangan serta tanpa menjalankan sunnah-sunnah Allah di alam semesta – dengan tidak melebihkan seseorang atas selainnya – maka Allah tidak akan menjamin pertolongan, kemenangan, dan kekuasaan di muka bumi, sebagaimana telah dijanjikan-Nya buat hamba-hamba-Nya yang shalih dan ikhlash.
Maka jelaslah bahwa golongan yang mendapat pertolongan itu adalah golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Golongan ini selalu melaksanakan fikih yang shahih yang mengacu pada Salaf dan para Imam. Golongan ini senantiasa menjalankan hal-hal yang bisa mendatangkan kemenangan sehingga sudah selayaknya Allah memberi mereka pertolongan. Mereka juga sama sekali tidak mempedulikan orang-orang yang menentang, meremehkan, atau merendahkan mereka.
III. AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH
Aqidah ini disebut dengan Aqidah Ahlus Sunnah karena para penganutnya selalu berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah SAW, dan disebut dengan Aqidah Ahlul Jama'ah karena aqidah ini merupakan aqidah penganut Islam yang berkumpul dalam kebenaran dan tidak berpecah-pecah dalam dien. Mereka senantiasa mengikuti manhaj imam-imam yang haq dan tidak keluar darinya dalam setiap urusan-urusan aqidah. Mereka adalah Ahlul Atsar, Ahlul Hadits, At-Thaifah Al-Manshurah dan Al-Firqah An-Najiyyah.
Ibnu Taimiyyah menyebutkan: “Inilah aqidah golongan yang selamat lagi tertolong hingga hari kiamat -Ahlus Sunnah wal Jamaah-, yaitu: beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari berbangkit setelah mati, dan beriman kepada taqdir Allah yang baik maupun yang buruk.1
Ahlus Sunnah wal Jamaah menyepakati prinsip-prinsip penting (Al-Ushul) yang kemudian menjadi ciri dan inti aqidah mereka. Yaitu:2
1. Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamah tentang sifat-sifat Allah: Itsbat bila takyif (menetapkan sifat-sifat Allah tanpa menanyakan bagaimananya) dan mensucikan sifat-sifat-Nya tanpa mengingkarinya.
2. Ahlus Sunnah wal Jamaah menetapkan aqidah mereka tentang Al-qur'an, bahwa Al-qur'an adalah kalam Allah, bukan makhluq.
3. Ahlus Sunnah wal Jamaah bersepakat bahwa orang-orang mukmin dapat melihat Rabbnya di syurga dengan kedua mata mereka.
4. Ahlus Sunnah meyakini bahwa Allah tidak bisa dilihat oleh siapapun di alam dunia ini.
5. Mengimani semua berita keadaan setelah mati yang disampaikan Rasulullah SAW.
6. Mengimani qadar Allah dengan segala tingkatannya.
7. Ahlus Sunnah berpendapat bahwa iman adalah ucapan, dan perbuatan. Dapat bertambah dan berkurang.
8. Ahlus Sunnah meyakini bahwa iman mempunyai ashl (pokok) dan furu’ (cabang), iman seseorang tidak terlepas kecuali dengan terlepasnya pokok keimanan.
9. Ahlus Sunnah wal Jama’ah bersepakat terhadap kemungkinan berkumpulnya antara siksa dan pahala pada diri seseorang. Namun, mereka tidak mewajibkan siksa atau pahala pada orang tertentu kecuali dengan dalil khusus.
10. Ahlus Sunnah wal Jama’ah mencintai dan mendukung shahabat Rasulullah, ahlul bait, dan isteri-isteri beliau tanpa meyakini adanya kema’shuman terhadap siapapun kecuali Rasulullah.
11. Ahlus Sunnah wal Jama’ah mempercayai adanya karomah para wali dan kejadian-kejadian luar biasa yang diberikan Allah kepada mereka.
12. Ahlus Sunnah wal Jama’ah bersepakat untuk memerangi siapapun yang keluar dari syari’at Islam, sekalipun ia mengucapkan dua kalimat syahadat.
13. Ahlus Sunnah wal Jama’ah berperang bersama pemimpin-pemimpin mereka, baik pemimpin yang baik maupun durhaka, demi menegakkan syari’at Islam.
IV. CIRI-CIRI KHUSUS AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
Ahlus Sunnah wal Jama'ah mempunyai ciri-ciri khusus yang berbeda dengan firqah-firqah sesat, di antaranya adalah3:
1. Selalu menaruh perhatian terhadap Al-qur'an dengan cara menghafal, membaca, dan menelaah tafsirnya. Begitu juga terhadap Al-Hadits dengan cara mengetahui yang shahih dari yang dhaif. Karena keduanya adalah merupakan Masdarut Talaqi.
2. Masuk ke dalam dienul Islam secara keseluruhan.
3. Berittiba’ kepada Rasulullah SAW dan meninggalkan bid’ah serta selalu berjamaah dan meninggalkan firqah dan segala perselisihan dalam dien.
4. Meneladani para Imam yang mendapat petunjuk dan adil. Yang selalu diteladani dalam masalah ilmu, amal, dan da’wahnya, yaitu para shahabat dan siapa saja yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat.
5. At-Tawasuth (pertengahan). Dalam masalah aqidah, mereka berada di pertengahan antara golongan yang bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) dan tafrith (menganggap remeh).
6. Selalu berusaha untuk menyatukan kalimat kaum muslimin dalam kebenaran dan menyatukan shaf mereka dalam barisan tauhid dan ittiba’ serta menjauhkan diri dari sarana yang mengarah kepada perselisihan dan perpecahan di antara ummat.
7. Melaksanakan dakwah ilallah dalam segala bidang baik aqidah, ibadah, akhlaq, dan segala permasalahan hidup. Menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, berjihad di jalan Allah, menghidupkan sunnah dan menegakkan hukum Allah di muka bumi.
8. Bersikap inshaf dan adil .
9. Ahlus Sunnah memikul amanat ganda: pertama adalah amanat ilmu berupa iltizam, dakwah, dan jihad; sedang yang kedua adalah amanat untuk memelihara keutuhan jama'ah Islam dalam pengertian yang luas.
10. Loyalitas Ahlus Sunnah hanya dalam kebenaran
11. Saling memberikan loyalitas kepada sesama mereka dengan loyalitas secara umum dan saling memaafkan.
12. Dalam memberikan dukungan dan permusuhan adalah berdasarkan prinsip ad-dien.
13. Ahlus Sunnah beramal berdasarkan kesatuan hati dan kesamaan kalimat.
V. TOKOH-TOKOH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
Mereka adalah para shahabat -yaitu yang beriman terhadap apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, pernah melihat beliau, dan mati dalam keadaan Islam-, para tabi’in, atbaa’ut taabi’in dan juga orang-orang yang berjalan di atas manhaj mereka serta mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat.
Di antara tokoh-tokoh shahabat adalah: para Khulafaaur Rasyidin, sepuluh orang yang sudah dijamin masuk jannah, Ahlul Badar, Ahlu Uhud, dan Ahlu Bai’atur Ridwan. Di antara tokoh-tokoh tabi’in: Uwais Al-Qarny, Said bin Al-Musayyib, Urwah bin Az-Zubair, Saalim bin Abdullah bin Umar, Ubaidillah bin Abdillah bin Utbah bin Mas’ud, Muhammad bin Al-Hanafiyyah, Ali bin Al-Hasan Zainal Abidin, Al-Qaasim bin Muhammad bin Abi Bakar As-Shidiq, Al-Hasan Al-Bashary, Muhammad bin Sirrin, Umar bin Abdul Aziz, dan Muhammad bin Syihab Az-Zuhri. Sedangkan di antara tokoh-tokoh Atbaa-ut Tabi’in adalah: Malik bin Anas, Al-Auzaa’iy, Sufyan Ats-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, dan Allaits bin Sa’id.
Kemudian orang-orang yang mengikuti mereka, di antara tokoh-tokohnya adalah: Abdullah bin Mubarak, Waki’, As-Syafi’i, Abdurrahman bin Mahdiy, dan Yahya bin Sa’id Al-Qathan. Kemudian para murid mereka yang mengikuti manhaj mereka, di antara tokoh-tokohnya adalah: Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, dan Ali bin Al-Madaniy. Kemudian murid-murid mereka di antaranya adalah: Al-Bukhary, Muslim, Abu Hatim, Abu Zur’ah, At-Tirmidzi, Abu Daud, dan An-Nasa’i.
Kemudian orang-orang yang berjalan di atas manhaj mereka, selanjutnya dari generasi-generasi yang menyusul mereka seperti: Ibnu Jarir At-Thabariy, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Qutaibah, Al-Khatib Al-Baghdadiy, Ibnu Abdil Barr, Abdul Ghanny Al-Maqdisy, Ibnu As-Shalah, Ibnu Taimiyyah, Al-Mizzy, Ibnu Katsir, Ad-Dzahabiy, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, dan Ibnu Rajab Al-Hanbaliy.
Kemudian orang yang menyusul mereka dan mengikuti jejak langkah mereka dalam berpegang teguh kepada Al-Kitab dan As-sunnah dan memahaminya dengan pemahaman para shahabat sampai datangnya hari kiamat. Dan orang yang terakhir dari mereka memerangi Dajjal1. Mereka itulah yang disebut dengan As-Salaf Ahlul Hadits . Wallahu A’lam bis Shawwab.
DAFTAR PUSTAKA
1. As-Sunnah Qabla at-Tadwin, DR. Muhammad Ajjaj Al-Khathib
2. Al-Baa’itsul Hatsits, Ibnu Katsir
3. Dirasat fi al-Hadits an-Nabawy wa Tarikhu Tadwinihi, Dr, Musthafa Muhammad
4. As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islamy, Dr. Musthafa As-Siba’i
5. Taisiru Musthalahi al-Hadits, Dr. Mahmud Thahan
6. Mauqifu Ibni Taimiyah Minal Asya’irah, Dr. Abdillah bin Shalih bin Shalih Al-Mahmud
7. Tadriibur Raawiy, Jalaaluddin As-Suyuthi
8. Minhaju As-Sunnah An-Nabawiyah li Ibni Taimiyah dirasah wa tahqiqi, Dr. Muhammad Rasyad Salim.
9. Al-Madkhal li Dirasati al-Aqidah al-Islamiyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Dr. Ibrahim bin Muhammad Al-Buraikan.
10. Ma’alimu al-Intilaqah al-Kubra ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Muhammad Abdul Hadi Al-Mishri.
11. Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah jama’ wa tahqiqi Abdurahman bin Muhammad bin Qasim wa ibnuhu.
12. Al I’tisham, Abu Ishaq Ibrahim Musa as-Syathibi.
13. Syarhu Ushulu I’tiqadi Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Al-Laalikay
14. I’lamu al Muwaqi’in, Ibnu Qayyim
15. Jama’atul Muslimin Mafhumuha wa Kaifiyatu Luzumiha fi Waqi’inal Muashir, Dr. Shalah Ash-Shawi
16. Wujubu Luzumi al-Jama’ah wa Tarki at-Tafaruq, Jamal bin Ahmad Basyir Bady
17. Mabahitsu fi Aqidati Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Dr. Nashir Abdul Karim Al-Aql
18. Manhaju al-Istidlal ‘ala Masailil I’tiqad ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Dr. Utsman bin Ali Hasan.
19. Al-Mausuu’ah Al-Muyassarah fil Adyan wal Madzaahib wal Ahzab Al Mu’ashirah, Muraja’ah: DR. Mani’ bin Hammad