Label
Pengunjung
BERHUKUM DENGAN HUKUM ALLAH
Tidak
diragukan lagi bahwa peminggiran syari'at Allah dan tidak diberlakukannya hukum
syari'at dalam seluruh aspek kehidupan merupakan penyelewengan paling parah dan
berbahaya dalam masyarakat umat Islam. Akibat yang ditimbulkan dari tidak
berhukum dengan hukum Allah di negeri-negeri kaum muslimin adalah berbagai
kerusakan dan kezaliman serta kehinaan yang menimpa kaum muslimin. Mengingat
pentingnya permasalahan ini dan juga karena di sisi lain banyak kesamaran
mengenai masalah ini, maka kami jelaskan secara rinci masalah ini sebagai
berikut:
I). Kedudukan berhukum
dengan hukum Allah menurut kaca mata dien.
Allah
telah mewajibkan berhukum dengan syari'at-Nya dan mewajibkan hal ini kepada
hamba-hamba-Nya serta menjadikannya sebagai tujuan diturunkannya al-kitab.
Allah berfirman :
"Dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar,
untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka
perselisihkan." [Al Baqarah: 213].
Allah berfirman :
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu
dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang
telah Allah wahyukan kepadamu," [An Nisa' :105].
Allah
menerangkan sifat dan hak khusus Allah dalam masalah membuat hukum dengan
firman-Nya:
"Menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi
keputusan yang paling baik." [Al
An'am: 57].
Allah berfirman:
"Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah
memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." [QS. Yusuf :40].
Allah berfirman :
"Bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat, dan
bagi-Nyalah segala penentuan dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan."
[Al Qashash :70].
Allah berfirman ;
"Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya
(terserah) kepada Allah." [Asy Syura :10].
Ayat-ayat
Al Qur'an menegaskan bahwa berhukum dengan hukum Allah adalah sifat orang
beriman sedang berhukum dengan selain hukum Allah, yaitu hukum thaghut dan jahiliyah adalah
sifat orang-orang munafiq.
Allah berfirman :
"Dan mereka berkata: "Kami telah beriman kepada
Allah dan Rasul, dan kamipun ta'at," Kemudian sebagian dari mereka
berpaling sesudah itu. Mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan
apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul mengadili
diantara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi
jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada Rasul
dengan patuh. Apakah (ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada
penyakit; atau (karena) mereka ragu-ragu atau (karena) takut kalau-kalau Allah
dan Rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka. Sebenarnya, mereka itulah
orang-orang yang zalim. Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka
dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili diantara mereka ialah
ucapan "Kami mendengar dan kami patuh". Dan mereka itulah orang-orang
yang beruntung." [An Nuur : 47-51].
Allah berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan
ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari Kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya
telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang
diturunkan sebelum kamu Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka
telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan
mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada
mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan
kepada hukum Rasul," niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi
(manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka bagaimanakah halnya
apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan
tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah:
"Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang
baik dan perdamaian yang sempurna." [An Nisa' :59-62].
Ibnu Taimiyah menerangkan
makna ayat ini dengan mengatakan:
"Allah
mencela orang-orang yang mengaku beriman kepada seluruh kitab suci sedang
mereka meninggalkan berhukum kepada Al Kitab dan As Sunah dan berhukum kepada
sebagian thaghut yang diagungkan selain Allah, sebagaimana ayat ini juga
mengenai banyak orang-orang yang mengaku beragama Islam tetapi dalam masalah
hukum mereka kembali kepada para shobiah,
filosof atau selain mereka atau kepada sistem hukum sebagian raja-raja
yang keluar dari syariah Islam seperti raja-raja Turki dan lain-lain. Jika
dikatakan kepada mereka, "Marilah berhukum kepada Al Kitab dan Sunah
Rasulullah," mereka sangat berpaling, namun ketika akal, dien atau dunia
mereka ditimpa musibah dengan syubhat dan syahwat atau jiwa dan harta mereka
ditimpa musibah sebagai hukuman atas kemunafikan mereka, mereka berkata,
"Kami hanya ingin berbuat baik dengan merealisasikan ilmu agar sesuai
perasaan dan mengkompromikan antara dalil-dalil syar'i dengan penalaran yang pasti," padahal hal itu
sebenarnya adalah dugaan-dugaan semata dan syubhat." ( Majmu' Fatawa 12/339,340, dengan sedikit modifikasi )
Beliau juga berkata :
"Sudah
diketahui berdasar kesepakatan kaum muslimin bahwasanya wajib menjadikan
Rasulullah sebagai hakim dalam setiap hal yang diperselisihkan manusia baik
urusan (dien) agama maupun dunia mereka, baik masalah pokok dien mereka maupun
masalah cabang dien mereka. Jika Rasulullah telah memutuskan maka hati mereka
tidak boleh merasa keberatan dan mereka wajib menerimanya dengan sepenuh
hati." ( Majmu' Fatawa 7/37-38. )
Syaikh Muhammad Rasyid
Ridha berkata :
"Ayat
ini berbicara bahwasanya orang yang menentang atau berpaling dari hukum Allah
dan Rasul-Nya secara sengaja, apalagi setelah ia diajak untuk berhukum dengan
keduanya dan diingatkan akan wajibnya hal itu, ia telah munafiq dan pengakuan keimanan serta
keislamannya tidak dianggap lagi." ( Tafsir Al Manar 5/227 )
Dari
sini kita bisa menerangkankan urgensi mengesakan Allah dalam masalah hukum dan
menjelaskan kedudukan berhukum dengan hukum Allah dalam point-point berikut:
1). Kedudukannya
ditinjau dari Tauhid Ibadah.
Sesungguhnya
berhukum dengan hukum Allah saja berarti memurnikan ketaatan kepada Allah
semata, sedangkan ketaatan merupakan salah satu bentuk dari bentuk-bentuk
ibadah, maka tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah semata.
Allah berfirman :
"Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah
memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." [QS. Yusuf : 40].
Allah berfirman :
"Dialah Allah yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi
selain-Nya. Bagi-Nyalah segala puji di
dunia dan di akhirat, dan bagi-Nyalah segala penentuan dan hanya kepada-Nyalah
kamu dikembalikan." [QS. Al Qashash: 70].
Ibadah
kepada Allah menuntut sikap memurnikan hak tasyri', tahlil dan tahrim untuk
Allah, karena Allah telah berfirman :
"Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain
Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka
hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak
disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan."
[QS. At Taubah : 31].
Merealisasikan
ketaatan ini dan memurnikan hak tasyri', tahlil dan tahrim untuk Allah semata
dan tunduk kepada syari'at adalah hakikat Islam itu sendiri. Sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu Taimiyah:
"Islam
mencakup sikap menyerahkan diri kepada Allah semata. Maka barang siapa
menyerahkan dirinya kepada Allah dan juga kepada selain-Nya maka ia telah
musyrik. Dan siapa tidak menyerahkan dirinya kepada Allah berarti telah
menyombongkan dirinya (menolak) untuk beribadah kepada Allah. Orang yang
musyrik dan menyombongkan dirinya untuk beribadah kepada Allah itu kafir.
Adapun menyerahkan diri kepada Allah semata itu mencakup sikap beribadah kepada
Allah semata dan mentaati Allah semata." ( Majmu' Fatawa 3/91, lihat juga An
Nubuwat 69-70 )
Beliau juga berkata :
"Barang
siapa menjadikan orang selain Rasul wajib ditaati dalam setiap perintah dan
larangannya sekalipun menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya, maka berarti ia
telah menjadikannya sebagai tandingan bagi Allah. Ini termasuk syirik yang
menyebabkan pelakunya masuk dalam firman Allah," Dan di antara manusia ada
yang mengambil selain Allah sebagai
tandingan-tandingan bagi Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka lebih menncintai
Allah." [Al Baqarah: 165] (Majmu' Fatawa 10/267)
Imam Ibnu Qayim berkata :
"Adapun
makna ridha kepada dien-Nya adalah jika Rasulullah bersabda, menghukumi
(memutuskan perkara), memerintah atau melarang, ia ridha (menerima) dengan
penuh keridhaan (penerimaan), di hatinya tak tersisa sedikitpun rasa berat terhadap keputusan beliau dan ia
menerimanya dengan sepenuh hati sekalipun bertentangan dengan keinginan
pribadinya atau hawa nafsunya atau pendapat orang yang ia taklidi (ikuti) atau
pendapat kyainya atau kelompoknya." (Majmu' Fatawa 10/267)
Sebaliknya,
orang yang berbuat syirik kepada Allah dalam masalah hukum maka ia seperti orang musyrik kepada Allah dalam hal ibadah,
antara keduanya tak ada bedanya, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al
Syinqithi: "Berbuat syirik kepada Allah dalam masalah hukum dan berbuat
syirik dalam masalah beribadah itu maknanya sama, sama sekali tak ada perbedaan
antara keduanya. Orang yang mengikuti UU selain UU Allah dan tasyri' selain
tasyri' Allah adalah seperti orang yang menyembah berhala dan sujud kepada
berhala, antara keduanya sama sekali tidak ada perbedaan dari satu sisi sekalipun,.
Keduanya satu (sama saja) dan keduanya musyrik kepada Allah." ( Al
Hakimiyah fie Tafsiri Adhwail Bayan, karya Abdurahman As Sudais hal. 52-53,
dengan ringkas, lihat juga Adhwaul Bayan 7/162. )
Beliau juga berkata :
"Dipahami
dari ayat ini" dan tidak mensekutukan Allah dalam masalah hukum dengan
siapapun" bahwa orang-orang yang mengikuti hukum-hukum para pembuat UU
selain apa yang disyari'atkan Allah, bahwa mereka itu musyrik kepada Allah.
Pemahaman ini diterangkan oleh ayat-ayat yang lain seperti firman Allah tentang
orang yang mengikuti tasyri' (aturan-aturan) setan yang menghalalkan bangkai
dengan alasan sebagai sembelihan Allah," Dan janganlah kalian memakan
hewan-hewan yang tidak disebutkan nama Allah saat menyembelihnya karena hal itu
termasuk kefasiqan. Dan sesungguhnya setan-setan itu benar-benar membisikkan kepada kawan-kawannya
agar mereka membantah kamu. Jika kamu mentaati mereka tentulah kamu termasuk
orang-orang musyrik." [QS. Al-An'am:121]. Allah menegaskan mereka itu
musyrik karena mentaati para pembuat keputusan yang menyelisihi hukum Allah
ini. Kesyirikan dalam masalah ketaatan dan mengikuti tasyri'
(peraturan-peraturan) yang menyelisihi syari'at Allah inilah yang dimaksud
(disebut) dengan beribadah kepada setan
dalam ayat, "Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kalian wahai Bani
Adam supaya kalian tidak menyembah (beribadah kepada) setan? Sesungguhnya setan
itu musuh yang nyata bagi kalian. Dan beribadahlah kepada-Ku. Inilah jalan yang
lurus." [QS. Yasin: 60-61]. Dan firman Allah tentang Ibrahim 'Alaihi
Salam, "Wahai bapakku, janganlah kau beribadah kepada setan karena
sesungguhnya setan itu durhaka kepada Ar Rahman (Allah Yang Maha
Pemurah}." [QS. Maryam :44]. (
Adhwaul Bayan 4/83, juga Adhwaul Bayan /440. )
Maka
demi merealisasikan tauhid ibadah yang berdiri di atas landasan nafyu
(peniadaan) ilahiyah dari selain Allah dan menetapkannya untuk Allah saja ini,
wajib hukumnya mengkufuri thaghut, sebagaimana firman Allah Ta'ala :
"Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan
beriman kepada Allah, maka sesunguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali
yang amat kuat yang tidak akan putus." [QS. Al Baqarah :256].
Allah telah menyebut
berhukum dengan selain hukum-Nya/syari'at-Nya sebagai thaghut dengan
firman-Nya:
"Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku
beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan
sebelummu? Mereka ingin berhukum kepada thaghut padahal mereka telah diperintah
untuk mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka
sejauh-jauhnya." {QS. An Nisa': 61].
Thaghut
adalah istilah yang umum. Setiap yang diibadahi selain Allah dan ia ridha, baik
ia itu berwujud sesembahan, atau sesuatu yang diikuti atau ditaati dalam
ketaatan yang tidak berdasar kepada ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya, maka
itulah thaghut. (A'lamul Muwaqi'in 1/49, lihat Risalah Makna Thaghut karya Imam
Muhammad bin Abdul Wahab dalam Majmu'atu Tauhid hal. 260, dan Fatawa Lajnah Daimah 1/542 )
2). Kedudukannya
ditinjau dari Tauhid Ilmy Khabary.
Berhukum
dengan hukum Allah termasuk tauhid rububiyah, karena merupakan pelaksanaan dari
hukum Allah yang merupakan tuntutan dari rububiyah Allah dan kesempurnaan
kekuasaan serta hak Allah mengatur alam ini. Karena itu Allah menyebut
orang-orang yang diikuti selain Allah bukan berdasarkan hukum Allah sebagai
arbab (tuhan-tuhan) bagi yang mengikutinya.
Allah berfirman:
" Mereka menjadikan
orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan
(juga mereka menjadikan Rabb ) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya
disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah)
selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." [QS. At
Taubah:31]. ( Al Majmu' Ats Tsamin Min Fatawa Ibni Utsaimin
1/33. )
Dan sebagaimana dikatakan
oleh Syaikh Rasyid Ridha saat menerangkan makna syirik dalam rububiyah :
" Menisbahkan
penciptaan dan pengaturan alam kepada selain Allah atau mengambil hukum-hukum
dalam dien dalam masalah beribadah kepada Allah, tahlil dan tahrim dari selain
Allah, maksudnya dari selain kitab-Nya dan wahyu-Nya yang disampaikan oleh para
rasul-Nya." . ( Tafsir Al Manar
2/55, lihat juga Al Manar 3/326. )
Imam Ibnu Hazm berkata :
" Karena Yahudi dan Nasrani
itu mengharamkan apa yang diharamkan oleh para pendeta dan ahli ibadah mereka dan menghalalkan apa yang
mereka halalkan, padahal masalah tahlil dan tahrim benar-benar masalah
rububiyah dan ibadah, maka berarti mereka (Yahudi dan Nasrani) telah berdien
(beragama) dengan hal itu dan Allah menyebut perbuatan mereka ini sebagai
mengambil arbab (tuhan-tuhan selain Allah) dan ibadah. Ini adalah kesyirikan
tanpa ada perbedaan pendapat lagi." .(
Al Fashlu fil Milal wal Ahwa' wal
Nihal 3/266 )
Imam Ibnu Taimiyah dalam
hal ini mengatakan:
" Allah telah
berfirman," Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka
sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb ) Al-Masih
putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak
ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang
mereka persekutukan." [QS. At Taubah :31].
Dan dalam hadits shahabat Adi bin Hatim ---sebuah hadits panjang diriwayatkan
oleh Ahmad, Tirmidzi dan lain-lain--- ia datang kepada Nabi sedang saat itu ia
masih Nasrani. Ia mendengar nabi membaca ayat ini, maka ia membantah,"
Kami tidak beibadah kepada para pendeta dan tukang ibadah kami." Nabi
menjawab," Bukankah para pendeta dan tukang ibadah mengharamkan yang halal
maka kalian ikut-ikutan mengharamkannya dan mereka menghalalakan yang haram
maka kalian ikut-ikutan menghalalkannya ?" Adi menjawab," Ya, memang
begitu." Beliau bersabda," Itulah bentuk ibadah kepada pendeta." ( HR. Tirmidzi n0. 3090, Al Baihaqi 10/116, dihasankan oleh Syaikh Al Albani
dalam Ghayatul Maram no. 6. )
Demikian juga Abu Bakhtari berkata, "
Mereka itu (Orang-orang Yahudi dan Nasrani) tidak sholat kepada para pendeta
dan ahli ibadah mereka. Kalau para pendeta dan ahli ibadah itu memerintahkan
mereka untuk beribadah (dalam artian sholat, sujud, ruku' dst-pent) kepada para
pendeta dan ahli ibadah mereka tentulah mereka tidak akan mentaati perintah
itu. Namun para pendeta dan ahli ibadah itu memerintah, mengharamkan yang halal
dan menghalalkan yang haram lalu orang-orang Yahudi dan Nasrani mentaatinya.
Ini adalah rububiyah sempurna (mengangkat pendeta menjadi tuhan-tuhan
baru-pent)…Nabi telah menerangkan ibadah mereka kepada para pendeta dan ahli
ibadah adalah dengan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal,
bukannya mereka itu sholat, shoum dan berdoa kepada para pendeta. Inilah makna
beribadah kepada para tokoh. Allah telah menyebutkan hal ini sebagai sebuah
kesyirikan dengan firman-Nya," Tidak ada Ilah yang berhak diibadahi selain
Dia (Allah). Maha Suci Allah dari kesyirikan mereka." .( Majmu' Fatawa 7/67. )
Sebagaimana hakekat ridha
Allah sebagai rabb mewajibkan untuk mengesakan Allah dalam masalah hukum dan
mengkhususkan hak membuat hukum dan memerintah bagi Allah semata. Allah berfirman:
" Ingatlah,
menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta
alam." [QS. Al A'raaf :54].
Allah juga berfirman:
"
Katakanlah:"Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah." [
Ali Imran : 154].
Seluruh hak memerintah
itu hak Allah semata, baik amru kauni qadari maupun amru syar'i dieni. (
Tahkimusy Syariah Dr. Sholah Showi hal. 18-21, dan Dhawabithu Takfir hal.
116. )
Imam Al 'Izzu bin Abdi
Salam -- Beliau adalah Abu Muhammad Abdul Aziz bin Abdus Salam al Sulami Ad Dimasyqi Al Syafi'I, sultannya para
ulama, seorang ulama yang teguh beramar ma'ruf nahi munkar, seorang faqih dan
ahli tafsir, menjadi khatib masjid Damaskus. Mempunyai banyak karangan, wafat
di Kairo tahun 660 H. Lihat Thabaqatu
Syafi'iyah 8/209, Al Bidayah wan
Nihayah 13/235. -- berkata :
" Dan Allah sajalah yang berhak ditaati
itu dikarenakan Allah sajalah yang memberi nikmat berupa menciptakan,
menghidupkan, memberi rizqi, memperbaiki dien dan dunia. Tak ada kebaikan
kecuali Allahlah yang menghadirkannya dan tak ada keburukan kecuali Allahlah
yang menghindarkannya…demikian juga tidak ada (hak membuat) hukum kecuali hak
Allah semata."( Qawaidul Ahkam 2/134,135. )
Syaikh Abdurahman Nashir
as Sa'dy berkata :
" Rabb dan Ilah lah
yang berhak atas hukum qadari (aturan alam) dan hukum syar'i (aturan agama) dan
hukum jaza-i (balasan di akhirat), Dialah yang dijadikan ilah dan diibadahi,
tak ada sekutu bagi-Nya dan Dia ditaati dengan ketaatan mutlak dan tidak
dimaksiati. Seluruh ketaatan kepada selain Allah mengikuti ketaatan
kepada-Nya."( Al Qaulu As Sadid hal. 102. )
Lebih dari itu,
sesungguhnya "Al Hakam " (Yang Maha Memutuskan) merupakan salah satu
nama Allah yang husna. Rasulullah telah
bersabda :
" Sesungguhnya Allah
itu Al Hakam (Maha Memutuskan perkara hamba-Nya) dan hak Allah-lah masalah
hukum itu."( HR. Abu Daud no. 4955, An Nasai 8/226,227, Al Baihaqi 10/145, dishahihkan Al Albani dalam Irwaul
Ghalil 8/237. Lihat Zaadul Ma'ad 2/335 )
Allah berfirman :
" Maka patutkah aku
mencari hakim selain daripada Allah." [Al AN'am :114].
" …maka bersabarlah,
hingga Allah menetapkan hukumnya diantara kita; dan Dia adalah Hakim yang
sebaik-baiknya. (Al A'raaf :87].
أليس
الله بأحكم الحاكمين.
" Bukankah Allah
Hakim yang seadil-adilnya?" [At Tiin :8].
Mengimani nama Allah al
Hakam ini menuntut untuk berhukum dengan
syari'at Allah saja : sebagaimana firman Allah:
و
لا يشرك في حكمه أحدا. (الكهف :26).
" Dan tidak
mengambil seorangpun sebagai sekutu Allah dalam menetapkan keputusan." [Al
Kahfi :26].
" Tentang sesuatu
apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah." [Asy
Syu'ara :10].
Allah telah menjelaskan
dalam banyak ayat sifat-sifat orang yang behak menjadi pemberi keputusan atas
persoalan ini, sebagaiamana dikatakan oleh Syaikh Asy Syinqithi :
" Di antara
ayat-ayat Al Qur'an yang dengannya Allah menerangan sifat orang yang berhak
memegang keputusan dan hak membuat UU adalah firman Allah :
"Tentang sesuatu
apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah." [Asy
Syu'ara :10]. Kemudian Alalh menerangkan sifat orang yang berhak memutuskan:
" Yang mempunyai
sifat-sifat demikian) itulah Allah Rabbku.Kepada-Nyalah aku bertawakkal dan
kepada-Nyalah aku kembali. Dia) Pencipta langit dan bumi.Dia menjadikan bagi
kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak
pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan
itu.Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat. Kepunyaan-Nya-lah perbendaharaan langit dan bumi;
Dia melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan(nya).
Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. Asy Syuro:12)
Apakah di antara
orang-orang kafir yang bergelimang dosa r yang membuat UU setan itu ada
yang berhak disifati sebagai Rabb yang
seluruh urusan dikembalikan kepadanya, dijadikan tempat bertawakal, penciapta langit dan bumi, artinya mengadakan
langit dan bumi sebelum keduanya ada tanpa ada contoh sebelumnya dan bahwasanya
ialah yang menciptakan manusia berpasang-pasangan …?
Maka bagi kalian wahai
kaum muslimin untuk memahami sifat-sifat orang yang berhak membuat UU,
menghalalkan dan mengharamkan dan janganlah kalian menerima UU dari orang kafir
yang hina dan bodoh.
Di antara ayat Al Qur'an
lain yang menerangkan hal ini adalah firman Allah :
" Kepunyaan-Nya-lah
semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya
dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tak ada seorang pelindungpun bagi mereka
selain daripada-Nya; dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya
dalam menetapkan keputusan." [Al Kahfi :26].
Apakah di antara
orang-orang kafir yang bergelimang dosa yang membuat UU positif itu ada
yang berhak disifati sebagai oranga yang
mengetahui hal yang tersembunyi di langit dan di bumi ? Mempunyai pendengaran
dan penglihatan yang mencakup seluruh hal yang terdengar dan teralihat di alam raya ini ? Tak ada seorang
pelindungpun selainnya ? Maha Suci Allah dari kesombongan ini.
Di antara ayat lain yang
menerangkan masalah ini adalah firman Allah:
" Janganlah kamu
sembah di samping (menyembah) Allah, ilah-ilah apapun yang lain.Tidak ada Ilah
(yang berhak disembah) melainkan Dia.Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali
Allah.Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu
dikembalikan." [Al Qashash :88].
Apakah di antara
orang-orang kafir yang bergelimang dosa yang membuat UU positif itu ada
yang berhak disifati sebagai
satu-satunya Ilah dan bahwa segala hal akan bianasa kecuali dirinya ? Dan
bahwasanya seluruah makhluk akan dikembalikan kepadanya ? Maha Tinggi, Maha
Agung dan Maha Suci Allah dari adanya makhluk-Nya yang lemah yang disifati
dengan sifat-Nya.
Di antaranya juga adalah
firman Alah:
Katakanlah:"Terangkanlah
kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan
sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal". Katakanlah:"Apakah Allah
telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja
terhadap Allah."? [QS. Yunus :59].
Apakah di antara
orang-orang kafir yang bergelimang dosa yang membuat UU positif itu ada
yang berhak disipati sebagai dialah yang
menurukan rizqi bagi seluruh makhluk, dan tak mungkin ada pengharaman dan
penghalalan kecuali atas seisinnya ? Karena secara otomatis, orang yang
menciptakan rizki dan menurunkannya dia pulalah yang mengatur rizki mana yang
halal dan mana yang haram. Maha Suci Alah dari mempunyai sekutu dalam masalah
tahlil dan tahrim ?"( Adhwaul Bayan )
3). Kedudukannya ditinjau
dari Tauhid Ittiba'.
Maksud dari tauhid
ittiba' adalah merealisalkan mutaba'ah kepada Rasulullah : "Tauhid ittiba'
artinya tauhid rasul dengan tahkim (menjadikan beliau sebagai pemutus perkara),
taslim (berserah diri kepada keputusan beliau), inqiyad (melaksanakan) dan
idz'an (tunduk pada perintah beliau)."( Syarhu Aqidah Thahawiyah 1/228. )
Jika demikian halnya, maka tidak diragukan
lagi berhukum dengan hukum Allah adalah tauhid ittiba'. Allah berfirman :
" Maka demi Rabbmu,
mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim
dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan
dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya." [ QS. An Nisa': 65].
Imam Ibnu Katsir berkata mengenai ayat ini
" Allah Ta'ala
bersumpah dengan Dzat-Nya yang Mulia dan Suci bahwasanya seseorang tidak
beriman sampai ia menjadikan Rasul sebagai hakim dalam seluruh urusan. Apa yang
diputuskan Rasul itulah yang haq yang wajib dikuti lahir dan batin."( .
Tafsir Ibni Tafsiru Ibni Katsir 3/211.)
Imam Ibnu Qayim juga
berkata mengenai ayat ini :
" Allah bersumpah
dengan jiwa/Dzat-Nya yang suci dengan sumpah yang dikuatkan dengan adanya
penafian (peniadaan) sebelum sumpah atas tidak adanya iman bagi makhluk sampai
mereka menjadikan Rasul sebagai hakim/pemutus segala persoalan di antara mereka
baik masalah pokok maupun cabang, baik hukum-hukum syar'I maupun hukum-hukum
ma'ad (di akhirat). Iman tidak ada dengan sekedar menjadikan beliau sebagai
hakim, namun harus disertai tidak adanya kesempitan, yaitu hati/dada merasa
sesak, hati merasa lapang selapang-lapangnya dan menerimanya sepenuh hati. Iman
tetap tidak ada hanya dengan sekedar ini saja, namun harus disertai dengan
menerima keputusan beliau dengan ridho dan taslim (penyerahan diri) tanpa adanya
sikap mendebat/menentang dan berpaling."( . At Tibyan fi Aqsami al Qur'an hal. 270. )
Berhukum dengan hukum
Allah juga merupakan realisasi pengakuan ridha Rasulullah sebagai nabi dan
rasul.
Karena itu Imam Ibnu Qayyim berkata :
" Adapun ridho
dengan dien nabi Allah sebagai Rasul mencakup kesempurnaan inqiyad
(melaksanakan perintah) dan taslim (menyerahkan diri) secara mutlaq kepada
Rasul, sehingga ia tidak menerima petunjuk kecuali dari kalimat-kalimat
(ajaran) Rasul, tidak berhukum kecuali kepada beliau, tidak menjadikan slainnya
sebagai hakim (pemutus segala persoalan), tidak ridha dengan hukum selain hukum
beliau, tidak dalam masalah asma' (nama), sifat dan af'al (perbuatan) Allah,
tidak pula untuk hukum-hukum dhahir dan
batin, tidak ridha dalam semua masalah ini dengan hukum selain hukum beliau dan
tidak ridha kecuali dengan hukum beliau."( Madariju Salikin 2/172-173. )
Bahkan berhukum dengan
hukum Allah merupakan makna syahadat Rasul itu sendiri. Dan sebagaimana
dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab :
" Makna syahadat
bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah
adalah mentaati perintah beliau, membenarkan khabar beliau, menjauhi apa yang
beliau larang dan tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan cara yang beliau
syari'atkan."( . Majmu'atu
Mualafati Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab 1/190, lihat Taisiril Azizi al Hamid
hal. 554-555. )
Karena ini pula Syaikh
Muhammad bin Ibrahim menetapkan bahwa memberlakukan syariah Allah sebagai satu-satunya
UU adalah makna syahadat bahwa Muhammad adalah Rasululah.
Beliau berkata :
" Menjadikan Rasul
sebagai satu-satunya hakim tanpa ada hakim lain selain beliau adalah saudara
kandung dari beribadah keapda Allah semata tanpa mensekutukan-Nya dengan
sesuatu apapun. Karena kandungan dua kalimat syahadat adalah hendaklah Allah
semata yang diibadahi tanpa sekutu dan hendaklah Rasulullah semata yang diikuti
dan dijadikan hakim. Tidaklah pedang-pedang jihad dihunus kecuali karena hal
ini dan untuk menegakkan hal ini baik secara fi'il (melaksanakan perintah),
tark (meninggalkan larangan) maupun
menjadikan beliau sebagai hakim saat terjadi persoalan." ( Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim (Risalatu
Tahkimil Qawanin ) 12/251. )
4). Kedudukannya ditinjau
dari Iman.
Allah berfirman :
" Wahai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya dan para pemimpin kalian.
Jika kalian berselisih dalam satu masalah maka kembalikanlah kepada Allah dan
rasul-Nya jika kalian benar-benar beriman kepada Alah dan hari akhir. Yang
demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya. Tidakkah kamu memperhatikan
orang-orang yang mengaku beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan
apa yang diturunkan sebelummu ? Mereka ingin berhukum kepada thaghut padahal
mereka telah diperintah untuk mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud
menyesatkan mereka sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kapada mereka,"
Marilah kalian tunduk kepada hukum yang telah diturunkan Allah dan kepada hukum
rasul," niscaya kalian melihat orang-orang munafiq menghalangi manusia
sekuat-kuatnya darimu Maka bagaimana halnya jika mereka ditimpa musibah
disebabkan perbuatan tangan mereka itu, kemudian mereka datang kepadamu sambil
bersumpah," Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain
penyelesaian secara baik-baik dan perdamaian yang sempurna." [An Nisa'
:59-62].
Allah berfirman :
"Maka demi Rabbmu,
mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim
dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan
dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya." [ QS. An Nisa':
65].
Imam Ibnu Hazm berkata :
" Allah menyebut
menjadikan nabi sebagai hakim sebagai iman dan memberitahukan bahwa tidak ada
iman tanpa hal itu dengan disertai tidak adanya kesempitan dalam hati dengan
keputusan beliau. Dengan demikian benarlah secara yakin bahwasanya iman itu
amal, aqidah (keyakinan hati) dan perkataan karena menjadikan Rasul sebagai
hakim itu adalah amal (perbuatan), dan hal itu tak mungkin kecuali disertai
ucapan dan tanpa adanya perasaan sempit di hati yang merupakan sebuah
keyakinan."( Ad Durah fi Maa Yajibu I'tiqaduhu hal. 338..)
Imam Ibnu Taimiyah
berkata :
" Setiap orang yang
keluar dari sunah Rasulullah dan syari'atnya, Allah telah bersumpah dengan
jiwa-Nya yang Suci bahwasanya orang itu tidak beriman sampai ia ridha dengan
keputusan Rasulullah dalam setiap hal yang menjadi persoalan di antara mereka
baik urusan dunia maupun akhirat, dan sampai tidak tersisa lagi dalam hati
mereka rasa sempit atas hukum
(keputusan) beliau."( . Majmu' Fatawa 28/471, lihat juga Majmu' Fatawa
35/363,407.)
Imam Asy Syaukani berkata
:
" Maka demi Rabmu..
" ayat. Dalam ancamaan yang keras ini ada hal yang membuat kulit bergetar
dan hati merinding, karena sesungguhnya : Satu. Hal ini merupakan sumaph Allah
dengan nama Allah sendiri yang dikuatkan dengan harfu nafyi bahwa mereka tidak
beriman. Allah meniadakan iman dari mereka
yang mana iman itu merupakan harta modal yang baik bagi hamba-hamba
Allah, sampai mereka mengerjakan "ghayah" yaitu menjadikan rasul
sebagai hakim (tahkim rasul) lalu Allah tidak mencukupkan dengan itu saja
namun Allah lalu berfirman," Lalu
mereka tidak menemaukan ksempitan dalam diri mereka atas keputusanmu "
Allah menggabungkan perkara lain dari tahkim , yaiu tidak adanya kesempaitan
(rasa berat), artinya kesempitan dalam dada. Jadi tahkim dan tunduk saja tidak
cukup sampai dari lubuk hatinya muncu sikap ridha, tentram dan hati yang sejuk
dan senang. Allah belum mencukupkan dengan ini semua, namun masih menambah lagi
dengan hal lain, yaitu firman-Nya : " menerima / menyerahkan diri "
maksudnya tunduk dan mentaati secara lahir dan batin. Allah belum mecukupkan
dengan hal ini saja, namun masih menambah dengan menyebut masdar
"tsaliman". Maka tidak ada iman bagi seoranga hamba sampai ia mau
bertahkim kepada Rasulullah lalu ia tidak mendapati rasa berat ((kesempiatan)
dalam hati atas keputusan nabi dan ia menyerahkan dirinya kepada hukum Allah dan syari'at-Nya sepenuh penyerahan,
tanpa dicampauri oleh penolakan dan menyelisihi."( . Fathul Qadir 1/484. )
Tahkim syari'at Allah dan
mengembalikan seluruh perselisihan kepada nash-nash dua wahyu adalah syarat
iman, sebagaimana firman Allah," Jika kalian berselisih dalam satu masalah
maka kembalikanlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kalian benar-benar beriman
kepada Alah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik
akibatnya." [An Nisa' :59].
Karena itu Ibnu Qayyim
berkata:
" Firman
Allah," Jika kalian berselisih dalam satu masalah" menggunakan
nakirah dalam kontek sebagai syarat, ia umum mengenai segala persoalan yang
diperselisihkan oleh kaum muslimin baik dalam masalah agama, masalah yang
detailnya maupun masalah yang global, yang tersembunyi maupun yang nampak.
Kalaulah dalam al Qur'an dan as sunah tidak ada keterangan tentang penyelesaian
apa yang mereka perselisihkan atau ada penyelesaian namun tidak cukup untuk
menyelesaikan (secara tuntas), tentulah Allah tidak memerintahkan untuk
mengembalikan segala persoalan kepada Al
Qur'an dan As Sunah. Karena mustahil Allah memerintahkan untuk kembali ketika
ada perselisihan kepada apa yang tidak mempunyai solusi atas perselisihan
tersebut. Dalam ayat ini Allah juga menjadikan mengembalikan ( perselisihan
kepada All Qur'an dan As Sunah} sebagai tuntutan iman. Jika sikap mengembalikan
[perselisihan kepada Al Qur'an da As Sunah ini hilang maka iman juga ikut
hilang, sebagai wujud dari hilangnya malzum (akibat) dengan hilangnya lazim
(sebab). Apalagi ada hubungan erat antara dua hal ini karena berasal dari dua
belah pihak. Masing-masing hilang dengan hilangya salah satu yang lain. Lalu
Allah mengkhabarkan bahwa mengembalikan persoalan kepada Al Qur'an dan AS Sunah
ini lebih benar bagi mereka dan akibatnya adalah sebaik-baik akibat."( .
A'lamul Muwaqi'in 1/49-50. )
Imam Ibnu Katsir berkata
:
" Apa yang
diputuskan oleh kitabullah dan sunah Rasululah dan diketahui haditsnya shahih,
maka itulah kebenaran dan tidak ada di luar kebenaran selain kesesatan. Karena
itu Allah berfirman," Jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan
hari akhir " maksudnya kembalikanl;ah perselisihan dan hal-hal yang belum
kalian ketahui kepada kitabullah dan sunah Rasul-Nya, berhukumlah kepada
keduanya dalam hal-hal yang diperselisihkan. Ini menunjukkan bahwasanya orang
yang tidak berhukum kepada al kitab dan as sunah dalam perselisihan dan tidak
kembali kepada keduanya, orang itu bukan orang mukmin kepada Allah dan hari
akhir."( Tafsir Ibnu Katsir 3/209. )
Jika tahakum kepada syari'at
Allah merupakan syarat iman, maka
sebelumnya tahakum kepada UU buatan manusia ---yaitu hukum thaghut dan
jahiliyah--- meniadakan iman dan termasuk tanda-tanda orang munafiq. Telah kami sebutkan di muka
perkataan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha saat menerangkan firman Allah,"
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman
kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu
Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari
thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang
sejauh-jauhnya." [An Nisa' :60], di mana beliau mengatakan ::
" Ayat ini berbicara
bahwasanya orang yang menentang atau berpaling dari hukum Allah dan Rasul-Nya
secara sengaja, apalagi setelah ia diajak untuk berhukum dengan keduanya dan
diingatkan akan wajibnya hal itu, ia telah
munafiq dan pengakuan keimanan serta keislaman tidak dianggap
lagi."( Tafsir Al Manar 5/227.)
Syaikh Nashir Abdurahman
As Sa'di juga berkata :
" Mengembalikan
penyelesaian persoalan kepada al Qur'an dan as Sunah adalah syarat iman…ini
menunjukkan bahwasanya orang yang tidak mengembalikan persoalan yang
diperselisihkan kepada keduanya tidak beriman dengan sebenar-benar iman, bahkan
sebaliknya ia telah beriman kepada thaghut sebagaimana disebutkan dalam sebuah
ayat," Apakah kamu tidak melihat orang-orang yang…An Nisa' :60]. Karena
iman menuntut ketundukan kepada syari'at Allah dan menjadikannya sebagai hakim
dalam seluruh urusan. Siapa mengakui dirinya mukmin namun ia lebih memilih
hukum thaghut di atas hukum Allah maka ia dusta."( Tafsir al Sa'di 2/90,
dengan ringkasan. )
Sayid Qutub-- Sayid Qutb
Ibrahim, seorang pemikir besar Islam, seorang sastrawan handal, mempunyai usaha-usaha
nyata dalam reformasi, mempunyai banyak
karangan, wafat dibunuh pada tahun 1387 H. Lihat Al A'lam 3/147. -- menguatkan bahwa sikap tidak melakukan
tahkimu syariah Islamiyah tidak akan bisa berkumpul dengan iman. Beliau berkata
saat menafsirkan [QS. Al Maidah : 43]," Dan bagaimana mereka mengangkat
kamu sebagai hakim mereka sementara di tangan mereka ada tauarat yang memuat
hukum Allah kemudian mereka setelah itu berpaling dari keputusanmu ? Dan mereka sungguh-sungguh
bukan orang beriman ?"
" Merupakan dosa
besar dan kemungkaran yang dingkari ketika mereka bertahkim kepada Rasulullah
sehingga rasul memutuskan dengan syariah Allah sementara di sisi lain mereka
memeiliki Taurat yang juga memuat hukum Allah lalu mereka menyesuai-suaikan
antara hukum Rasul dengan hukum Taurat di tangan mereka yang mana Al Qur'an
datang untuk membenarkannya, tapi kemudian mereka berpaling, baik mereka
berpaling dengan tidak melaksanakan hukum itu ataupun menerima namun tidak
ridha.
Konteks ayat ini tidak
cukup dengan mengingkari saja, namun juga menetapkan hukum Islam dalam kondisi
seperti ini " Dan tidaklah mereka itu beriman". Iman Tidak mungkin
akan berkumpul dengan sikap tidak mau menjadikan syariah Allah sebagai hakim
atau sikap tidak ridha dengan hukum syariah ini. Orang-orang yang mengira
mereka atau orang selain mereka beriman lalu mereka tidak bertahkim dengan
syari'at Allah dalam segala aspek kehidupan mereka atau tidak ridha dengan
hukum syariah jika diterapkan atas mereka… pengakuan mereka itu sebenarnya bohong
belaka, menabrak (bertentangan dengan) nash yang qath'I ini " Dan tidaklah
mereka itu beriman."( Fi Dzilalil Qur'an 2/894-895.)
Di antara yang ditulis
oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim dalam
masalah ini adalah :
" Sesungguhnya
firman Allah " mereka mengira " mendustakan pengakuan iman mereka,
karena iman tidak akan berkumpul dengan sikap berhukum dengan selain hukum
..... (bersambung hukum Alloh 2 )( hal 11 )
( bagian 2 )
Allah yang dibawa Rasul
dalam hati seorang hamba. Sebaliknya, satu sama lain saling meniadakan. Thaghut
merupakan pecahan kata dari kata at Tughyan yang berarti melampaui batas.
Setiap orang yang memutuskan persoalan dengan selain hukum Allah yang dibawa
oleh Rasul, berarti memutruskan persoalan dengan hukum thaghut dan berhukum dengannya."(
. Risalatuu Tahkimil Qawanin hal. 2. )
Syaikh Asy Syanqithi menegaskan bahwa orang-orang
(rakyat) yang mengikuti orang-orang yang membuat UU selain syariah Alalh
sebagai orang-orang yang musyrik kepada Allah, beliau menyebutkan dalil-dalil
hal ini, di antaranya beliau berkata :
" Termasuk dalil
yang paling gamblang dalam masalah ini adalah bahwasnya Allah dalam surat an Nisa' menerangkan
orang-orang yang ingin berhukum, dengan selain syari'at-Nya Allah tidak merasa
heran dengan pengakuan iman mereka. Hal ini tidak lain karena pengakuan mereka beriman dengan disertai
sikap berhukum kepada thaghut sudah benar-benar dusta sehingga layak untuk
diherani. Hal ini disebutkan dalam firman Allah," Apakah kamu tdak
melihat…"( Adhwaul Bayan 4/83, lihat Al Hakimiyah fi Adhwail Bayan hal.
58. )
Lebih dari ini semua,
iman adalah perkataan dan perbuatan. Iman mencakup sikap membenarkan dan tunduk
mematuhi. Sebagaimana wajib hukumnya bagi makhluk untuk membenarkan apa yang
dikhabarkan oleh para rasul maka wajib pula atas mereka untuk mentaati perintah
rasul, sebagaimana firman Allah :
" Dan tidaklah Kami
mengutus seorang rasulpun kecuali untuk ditaati dengan izin (perintah)
Allah." [An Nisa' :64].
Karena itu Imam Muhammad
bin Nashr al Maruzi mengatakan tentang defnisi iman,"Iman kepada Allah
artinya mentauhidkan-Nya, membenarkan-Nya lewata hati dan lisan dan tunduk
kepada Allah dan kepada perintah-Nya dengan memberikan tekad kauat untuk
melaksanakan perintah-Nya, menjauhi sikap sombong dan melawan perintah-Nya.
Jika kamu telah mengikuti apa yang datang dari Allah, maka kamu akan
mengerjakan hal yang wajib dan menghalalkan yang halal, mengharamkan yang
haram, tidak melanggar yang syubhat dan segera berbuat kebajikan."( .
Ta'dzimu Qadri Shalah 1/392-393.)
Tidak diragukan lagi
bahwa tahkimu syariah merupakan sikap tunduk dan melaksanakan dienullah. Jiaka
demikian halnya, maka tidak melaksanakan tahkimu syariah berarti kufur
iba', kufur radd dan akufur istikbar
{kafir karena sombong, menolak dan
menentang) sekalipun ia masih membenrakan apa yang datang dari Allah. Kufur
tidaklah hanya sekedar mendustakan (takdzib) sepertii yang dikatakan oleh
Murjiah.
5). Sebagai penutup
penjelasan mengenai urgensi tahkimu
syariah ini kami tunjukkan bahwa tahkimu syariah merupakan sikap
memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya yang mengandung kehidupan dan kebaikan.
Sebagaimana firman Allah
:
" Hai orang-orang
yang beriman, penuhilah panggilan Allah dan Rasul-Nya jika menyeru kalian
kepada apa yang membawa kehidupan bagi kalian." [Al Anfaal :24].
Syaikh As Sa'di
berkata,"
" Jika menyeru
kalian kepada hal yang memberi kalian kehidupan" merupakan sifat yang
senantiasa berlangsung (ada) ada tiap apa yang ajakan Allah dan Rasul-Nya, juga
menerangkan faedah dan hikmahnya karena hidupnya hati dan ruh itu dengan
beibadah keapda Allah, senantiasa mentaati-Nya dan senantiasa mentaati
Rasul-Nya."( Tafsir As Sa'dy 3/125. )
Sesungguhnya menolak
syariah Islam dan tidak memenuhi panggilan tahkimu syariah merupakan sikap
memenuhi panggilan hawa nafsu, itulah kesesatan yang jauh di dunia dan adzab
yang pedih di akherat.
Allah berfirman :
" Jika mereka tidak
memenuhi ajakanmu maka ketahuilah bahwasanya mereka mendengarkan hawa nafsunya
dan siapakah yang lebih sesat melebihi orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa
mengikuti petunjuk Allah?" [Al Qashash :50].
Allah berfirman :
" Wahai Daud,
sesungguhnya Kami menjadikanmu sebagai khalifah di bumi maka menghukumilah di
antara manusia dengan kebenaran dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
sehingga hawa nafsu menyesatkanmu dari jalan Alah. Sesungguhnya orang-orang
yang sesat dari jalan Allah, bagi mereka adzab yang pedih pada hari perhitungan
nati akibat mereka melupakan (perintah Allah)." [Shad : 26].
Allah berfirman :
" Dan barangsiapa
berbuat maksiat kepada Allah dan rasul-Nya dan melanggar batasan-batasan Allah,
maka Allah akan memasukkannya dalam neraka . Ia kekal di dalamnya dan baginya
adzab yang menghinakan." [An Nisa' :14].
Ibnu Katsir berkata
tentang ayat ini :
"Karena ia telah
mengganti hukum Allah dan menentang Allah dalam maslaah hukum-Nya. Ini hanya
akan keluar dari sikap tidak ridha dengan pembagian dan hukum Allah. Karena itu
Allah membalasnya dengan menghinakan dalam adzab yang pedih dan kekal."( .
'Umdatu Tafsir 3/125. )
Nash-nash dua wahyu ( Al
Qur'an dan As Sunah) telah datang mengingatkan untuk tidak bertahakum kepada
selain hukum Allah. Allah berfirman," Dan hendaklah kamu memutuskan
perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kemu
mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati. hatilah kamu terhadap mereka, supaya
mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada
mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan
manusia adalah orang-orang yang fasik ." [Al Maidah :49].
Syaikh Ismail bin Ibrahim
al Azhari -- . Abu Hibatullah Ismail bin Ibrahim Al Khathib alHasany al As'ardy
Al Azhary As Salafy, belum saya temukan biografinya, namun yang jelas beliau
semasa dengan Muhammad bin Munir bin Abuh Agha Al Dimasyqy (wafat 1333367 H).
Lihat : Namudzaj minal A'mal Al Khairiyah karya Muhammad Munir Agha hal. 291,
dan Al A'lam 7/310. -- berkata:
" Allah
memerintahkan nabi-Nya untuk memutuskan
perkara di antara ahlu kitab dengan apa yang Allah turunkan dan melarangnya
untuk mengikuti hawa nafsu mereka karena hal itu menyelisihi apa yang diturunkan
Allah. Allah mengingatkan beliau jangan sampai terkena fitnah mereka sehingga
menghalangi beliau dari sebagian yang diturunkan Allah. Allah memberitahukan
kepada beliau bahwa jika mereka berpaling dari hukum yang diturunkan Allah
kepadanya maka Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka dan
menguji mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka . Maka dari sini diketahui
bahwa berpaling dari hukum Allah kepada
hukum sesuai hawa nafsu adalah seabab kenapa Allah menimpakan musibah kepada
mereka."( Tahdziru Ahlil Iman 'anil Hukmi Bighairi Maa Anzala ar Rahman
hal. 40. lihat juga hal. 22, dan lihat Mukhtashor Al Showa'i' Al Mursalah karya
Ibnu Qayyim 2/53. )
Ibnu Qayyim menyebutkan
sebagian akibat dari meminggirkan hukum Allah :
" Ketika manusia berpaling
dari hukum Allah dan sunah dan bertahakum kepada keduanya, dan mereka meyakini
tidak cukuap dengan keduanya dan mereka berpaling kepada fikiran akal, qiayas
dan istihsan dan pendapat para pemuka kaum maka mereka ditimpa kerusakan dalam
fitrah mereka dan kegelapan dalam hati mereka dan kekeruhan dalam pemahaman
mereka dan dan akal mereka. Persoalan-persoalan ini mengenai mereka semua sampai seorang anak segera tumbuh dewasa
karenanya dan orang tua pikun karenanya."( . Al Fawaid hal. 42-43.)
Dalam hadits dari Nabi
beliau bersabda," Wahai kaum muhajirin, aku berlindung kepada Allah dari
lima kerusakan, jangan sampai menguji kalian dan mengenai kalian," Beliau
menyebutkan salah satunya," Dan tidaklah para pemimpin mereka tidak berhukum
dengan selain hukum Allah kecuali Allah akan menjadikan perang saudara di
antara mereka.( . HR. Ibnu Majah 2/1333 no. 4019, Al Hakim 4/540, Al Baihaqi
3/346, Al Bushairi dalam Az Zawaid berkata," Hadits ini sholih untuk
diamalkan." Dishahihkan oleh Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabi,
dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Targhib 1/321, lihat Silsilah Ahadits
Shahihah no. 106. )
Dalam riwayat lain," Dan tidaklah mereka
berhukum dengan selain hukum Allah kecuali akan melauaslah di kalangan mereka
kefakiran."( HR. Ath Thabrani dalam Al Mu'jam Al Kabir. Al Mundziri
berkata," Sanadnya dekat dengan derajat hasan. Hadits ini mempunyai
beberapa syawahid. " Dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih at Targhib
1/321. )
Dalam hal ini Ibnu
Taimiyah berkata:
" Jika para pemimpin telah keluar dari ( Al
Qur'an dan As sunah) maka mereka telah berhukum dengan selain hukum Allah dan
terjadilah perang sesama mereka, sebagaimana sabda Rasulullah," Tidaklah
suatu kaum diperintah (dihukumi) dengan selain hukum Allah kecuali akan terjadi
perang sesama mereka." Inilah sebab terbesar jatuh bangunnya negara-negara
sebagaimana terjadi lebih dari sekali di zaman kita ini dan selain zaman kita.
Siapa yang Allah menghendaki kebahagian bagi dirinya, maka Allah menjadikannya
mengambil pelajaran dari apa yang menimpa orang lain, sehingga ia menempuh
jalan orang-orang yang dikuatkan dan dibenarkan Allah dan menjauhi jalan
orang-orang yang dihinakan Allah."( Majmu' Fatawa 35/387. )
Maha Benar Allah dan
rasul-Nya, karena siapa yang melihat kondisi umat Islam saat ini akan melihat
musibah dan keburukan yang menimpa negera-negerai kaum mauslimina, juga
berbagai permusuhan dan perpecahan di antara mereka, demikian juga saling
perang, sebagaimana juga muncul kemiskinan dan kemunduran ekonomi padahal negara-negara
umat Islam ---sebagaimana sama-sama diketahaui--- merupakan negara yang paling
besar kekayaan alam dengan berbagai jenisnya. Sebab paling besar dari semua
musibah ini semau adalah peminggiran syariah Islam dan bertahakum kepada
thaghut. . ( Lihat misalnya untuk mengetahui pengaruh UU positif ini dalam
Risalatul Kitab was Sunah Yajibu An Yakuna Mashdarul Qawanin Fi Mishra, karya
Syaikh Ahmad Syakir dan pembahasan "Wujubu Tathbiqi Syariah" karya
Ssyaikh Manna' Qathan. )
Wallahu Al Musta'anu.
Kapan berhukum dengan
selain hukum Allah membatalkan iman?
Jika telah ditetapkan
bahwa hak tasyri' merupakan hak khusus dari rububiyah Allah, maka perkara yang
halal hanyalah apa yang dihalalkan oleh Allah dan Rasulullah, perkara yang haram
hanyalah perkara yang diharaakan oleh Allah dan Rasul-Nya, dien hanyalah apa
yang disyari'atkan oleh Allah dan Rasul-Nya Tak boleh bagi seorangpun keluar
dari sesuatupun yang disyari'atkan dalam dien Islam, kewajiban yang ada adalah
mengikuti syariah ini.
Allah berfirman :
" Ikutilah apa yang
diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin
selainNya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)?" [Al
A'raf :3].
Sesungguhnya kufur kepada
thaghut itu wajib hukumnya, yaitu dengan cara tidak berhukum kepadanya dan
menyakini kebatilannya serta berlepas diri darinya. Allah berfirman,"
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka
sesunguhnya ia tela berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan
putus." [Al Baqarah :256].
Sesungguhnya iman yang
benar-benar yakin mewajibkan sikap tunduk kepada hukum Allah yang merupakan
hukum terbaik secara mutlak, sebagaiamana sikap ini merupakan sikap
oranag-orang mukmin yang benar dan yakin. Allah berfirman," an (hukum)
siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi oang-orang yang yakin?"
[Al Maidah :50].
Allah berfirman,"
Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetappkan suatu ketetapan,
akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.Dan barang siapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata." [Al Ahzab :36].
Adapun orang yang
berhukum kepada thaghut dan hukum jahiliyah sedang ia masih mengaku beriman,
maka pengakuan seperti ini adalah pengakuan dusta sebagaimana keadaan
orang-orang munafiq yang disebutkan dalam firman Allah," Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang
diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu Mereka hendak
berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut
itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang
sejauh-jauhnya." [An Nisa' :60].
Allah telah menamakan
orang-orang yang berhukum (memutuskan perkara) dengan selain syariah-Nya
sebagai oranga-orang kafir, dzalim dan fasiq.
Allah berfirman:
" Dan barang siapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir.." [QS. Al Maidah :44].
" Dan barang siapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang dzalim." [QS. Al
Maidah :45].
"Dan barang siapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang fasiq." [QS. Al Maidah :47].
Berhukum dengan selain
hukum Allah termasuk kafir akbar yang mengeluarkan dari milah dan menjadi salah
satu pembatal iman dalam beberapa kondisi dan bentuk. Kita akan membicarakan
sebagiannya sebagai berikut :
1). Siapa yang membuat UU
selain hukum yang telah diturunkan Allah.
Wajibnya mengesakan Allah
dalam masalah hukum dan tasyri' merupakan suatu aksioma. Allah berfirman,"
Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha suci Allah,
Rabb semesta alam." [Al A'raaf: 54].
Jika Allah adalah yang
Maha Esa dalam hal menciptakan, memberi rizqi, menghidupkan, mematikan, dan
tidak ada sekutu bagi-Nya dalam sifat-sifat ini, maka Allah juga Maha Esa dalam
hal tasyri' (membuat perundang-undangan/legislative), tahlil (menghalalkan) dan
tahrim (mengharamkan). Maka dien tak lain adalah apa yang disyari'atkan oleh
Allah dan tak boleh bagi seorangpun membuat UU sebagaimana hukum Allah dan
rasul-Nya.
Siapa saja yang merampas
hak tasyri' menghalalkan dan mengharamkan ini berarti telah berbuat syirik.
Allah berfirman," Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah
yang mensyari'atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah Sekiranya tak
ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah
dibinasakan.Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab
yang amat pedih."[QS. Asy Syura : 21].
Ibnu Katsir berkata saat
menafsirkan ayat ini :
" Maksudnya mereka
tidak mengikuti apa yang disyari'atkan Allah kepadamu yang berupa dien yang lurus, namun malahan
mengikuti apa yang disyari'atkan oleh setan-setan mereka dari kalangan jin dan
manusia berupa pengharaman Bahirah, Saibah, Washiilah dan Haam dan menghalakan
bangkai, darah dan judi, dan kesesatan-kesesatan lain dan kebodohan yang batil
yang mereka ada-adakan dalam masa jahiliyah mereka berupa masalah penghalalan,
pengharaman, ibadah-ibadah yang batil serta harta-harta yang rusak."(
Tafsir Ibni Katsir 4/113. )
Allah Ta'ala menyebut
orang yang ditaati dalam perbuatan kemusyrikan sebagai syuraka'
[tandingan-tandingan] Allah.( Adhwaul Baayan 4/83 dan 7/173. )
Allah berfirman," Dan demikianlah pemimpin-pemimpin mereka
telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang yang musyrik itu memandang baik
membunuh anak-anak mereka untuk membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi
mereka agamanya."[QS. Al An'am :137].
Allah juga berfirman:
" Mereka menjadikan
orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan
(juga mereka menjadikan Rabb ) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya
disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah)
selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." [At Taubah
: 31].
Jika mengikuti
hukum-hukum pembuat UU selain UU Allah
disebut sebagai perbuatan syirik, dan Allah telah menghukumi orang-orang yang
mengikuti UU ini sebagai telah berbuat syirik, sebagaimana firman Allah :
" ika kamu menuruti
mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik." [Al
An'am :121].( Lihat Tafsir Ibni Katsir 2/163, Majmu' Fatawa Ibni Taimiyah 7/70
dan Adhwaul Bayan 3/440.) Maka apalagi
dengan para pembuat UU tersebut ? Allah juga berfirman :
" Sesungguhnya
mengundur-undurkan bulan Haram itu adalah menambah kekufuran. Orang-orang kafir
disesatkan dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu
tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain agar mereka dapat menyesuaikan
dengan bilangan yang Allah telah mengharamkannya maka mereka menghalalkan apa
yang telah diharamkan Allah. Dijadikan indah di mata mereka perbuatan jelek
mereka dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir."[QS. At
Taubah : 37].
Imam Ibnu Hazm berkata:
" Berdasar kaedah
bahasa yang dengannya Al Qur'an ini turun, tambahan terhadap sesuatu itu
sekali-kali tidak akan ada kecuali dari sesuatu itu sendiri, bukan dari
selainnya. Maka benarlah kalau sesuatu itu kafir. Hal ini termasuk perbuatan
anggota badan yaitu menghalalkan apa yang diharamkan Allah."( Al Fashlu
3/245. )
" Mereka para pembuat UU (badan
legislatif) tanpa izin Allah membuat hukum-hukum thaghut itu tak lain
dikarenakan mereka meyakini bahwa hukum-hukum Thaghut (UU Positif buatan
mereka) lebih cocok dan lebih bermanfaat bagi manusia. Ini adalah kemurtadan
dari Islam bahkan mengakui sesuatu dari hukum-hukum tersebut sekalipun dalam
masalah paling kecil sekalipun, maknanya telah tidak ridha dengan hukum Allah
(Al Qur'an) dan hukum Rasul-Nya (As Sunah), ini merupakan kekafiran yang
mengeluarkan pelakunya dari milah (agama)."( . Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim 12/500,
lihat juga Fatawa Syaikh Utsaimin 1/36. )
Selain itu, pembuatan UU ini berarti
membolehkan seseorang keluar dari syari'ah yang diturunkan Allah ini, padahal
siapa membolehkan seeorang keluar ( tidak mengikuti/memberlakukan) dari syariah
ini maka ia telah kafir berdasar ijma'(
Majmu' Fatawa 27/58-59,524, juga Al Bidayah wa al Nihayah 13/119. )
Dr. Sholah Showi
menyatakan :
" Sesungguhnya
thaghut-thaghut manusia sejak dulu dan kini telah merampas hak Allah untuk
memerintah, melarang dan tasyri' (membuat UU) tanpa izin Allah. Para pendeta dan ahli ibadah mengakuinya sebagai hak
mereka maka mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal,
dengannya mereka memperbudak manusia dan
menjadi tuhan-tuhan selain Allah. Lalu para raja merebut hak ini dari tangan
mereka sampai akhirnya para raja berbagai hak ini dengan para pendeta dan ahli
ibadah itu, lalu datanglah orang-orang sekuler yang merampas hak ini dari para
raja dan pendeta, mereka pindahkan hak itu kepada lembaga yang mewakili rakyat
yang mereka beri nama Parlemen atau Majleis Perwakilan (MPR/DPR)."
(Nadhariatus Siyadah Wa Atsaruha 'Ala
Syar'iyatil Andhimah Al Wadh'iyah hal. 19-20. )
UUD yang menjadi UUD
kebanyakan negara-negara berpenduduk
mayoritas muslim saat ini-berdasar penelitian terhadap UUD tersebut
---- sudah keluar dari aqidah mengesakan
Allah dalam masalah tasyri', di mana hak tasyri' dan kekuasaan tertinggi
(kedaulatan) diserahkan kepada rakyat atau bangsa. Barangkali UUD ini juga menjadikan penguasa
(badan eksekutif) juga ikut sebagai sekutu dalam hak membuat UU ini, namun juga
terkadang hanya badan legislative saja yang berhak membuat UU. Ini semua merupakan pembangkangan
terhadap Islam yang mewajibkan tunduk patuh dan menerima dien Allah. Wallahul
Musta'anu.( Ibid hal 12-16. )
Dr. Sholah Showi berkata
tentang UU tersebut :
" Sesungguhnya
kondisi yang dihadapi oleh masyarakat-masyarakat kita saat ini adalah (a)
kondisi pengingkaran terhadap kenyataan bahwa Islam mempunyai hubungan dengan
urusan kenegaraan, dari (b) sejak awal, syariah Islam dicegah untuk mengatur
berbagai aspek kehidupan dalam negara dan (c) kondisi di mana hak mutlak untuk
membuat UU dalam aspek-aspek kehidupan ini ditetapkan untuk parlemen dan
Majelis Permusyawaratan.
Kita saat ini berada di
hadapan suatu kaum yang meyakini kekuasaan tertinggi (kedaulatan) dan hak
mutlak membuat UU berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Halal
adalah apa yang dinyatakan halal oleh MPR, haram adalah apa yang dinyatakan
haram oleh MPR, wajib adalah apa yang diwajibkan oleh MPR, UU adalah apa yang
ditetapkan oleh MPR. Suatu perbuatan tidak dianggap sebagai sebuah kejahatan
kecuali bila melanggar UU yang
ditetapkan MPR, tidak dihukum kecuali berdasar UU ketetapan MPR, dan tidak ada
dasar hukum kecuali bunyi teks-teks UU yang dikeluarkan oleh MPR…..
Ujian yang kita alami
hari ini, di mana untuk memperbaikinya tidak bisa dengan sekedar membuang
sebagian pasal-pasalnya, atau sebagian teksnya saja, namun kondisi ini hanya
akan menjadi baik dengan cara kita mulai dengan menetapkan kekuasaan mutlak dan
hak membuat undang-undang tertinggi berada di tangan syariah Islam, dan
menetapkan secara tegas bahwa setiap UU atau ketetapan yang bertentangan dengan
syariah Islam dianggap batil." ( Tahkimusy Syaari'ah wa Da'awal Ilmaniyah
hal. 81.)
Derajat penghinaan
terhadap syariah Islam dan pembuangan syariah Islam dari kehidupan bernegara
ini --- di beberapa UU positif di berbagai negara ---- sampai pada tingkatan
menjadikan syariah Islam sebagai sumber kedua dari sumber perundang-undangan
positif, setelah UU positif dan adat/budaya setempat. Mereka juga secara terus
terang menyatakan hak membuat UU di tangan selain Allah. Menurut mereka,
nash-nash syariah Islam tidak mungkin menjadi UUD jika memang ingin mereka
berlakukan kecuali bila dikeluarkan (ditetapkan) oleh pihak yang memegang hak
membuat UU, yaitu kekuasaan yang diberi wewenang oleh UU untuk membuat UU
(Badan Legislatif).
Sekalipun syariah Islam
turun dari Allah, namun menurut mereka tak mungkin menjadi UU apalagi menjadi
UU satu-satunya yang menguasai negara, bahkan biasanya budaya setempat membuang
setiap prinsip dari prinsip-prinsip syariah Islam.( . Lihat penjelasan secara
rinci dalam Hadul Islam wa Haqiqatul Iman karya Abdul Majid Syadzali, hal. 365-377. )
UUD thaghut ini di sisi
pembuatnya juga mempunyai kedudukan sakral dan sakti seperti halnya syariah
Ilahiyah. Hal ini diterangkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dengan mengatakan :
" UUD yang
ditetapkan musuh-musuh Islam dan mereka wajibkan atas kaum muslimin.. pada
hakekatnya tak lain adalah agama baru, mereka membuatnya sebagai ganti dari agama kaum muslimin yang
bersih dan mulia, karena mereka telah mewajibkan kaum muslimin mentaati UUD
tersebut, mereka menanamkan dalam hati kaum muslimin rasa cinta kepada UU tersebut,
mensakralkannya dan fanatisme dengannya sampai akhirnya terbiasa dikatakan
melalui lisan dan tulisan
kalimat-kalimat " Pensakralan UUD", " Kewibawaan lembaga peradilan "
dan kalimat-kalimat semisal. Lalu mereka menyebut UUD dan aturan-aturan ini dengan
kata "fiqih dan faqih"
"tasyri' dan musyari' " dan kalimat-kalimat semisal yang dipakai
ulama Islam untuk syariah Islam dan para ulama syariah."( Umdatu Tafsir
3/124, secara ringkas. )
Sesungguhnya syari'at Allah haruslah menjadi
satu-satunya hukum yang berlaku dan berkuasa atas segala UU lainnya, dan
menjadi satu-satunya sumber hukum . Karena itu kita tidak boleh tertipu dengan
perkataan orang-orang yang mengatakann syariah Islam menjadi sumber utama
perundang-undangan, karena pernyataan ini memuat ungkapan syirik berupa
pengakuan dan ridho dengan sumber-sumber perundang-undangan selain syariah
Islam, sekalipun sumber-sumber sekunder saja." . ( Dhawabitu Takfir hal.
115-116 karya Abdullah Al Qarni , Adhwayun 'ala Ruknin minat Tauhid karya Abdul
Aziz bin Hamid hal. 20 )
Allah berfirman," Dan hendaklah kamu
memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kemu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati. hatilah kamu terhadap
mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu. " [Al Maidah :49]. .
2. Juhud (mengingkari) kewajiban berhukum
dengan hukum Allah atau mengingkari kebaikan dan kebenaran hukum Allah Ta'ala
dan Rasul-Nya.
Sebagaimana disebutkan
dalam riwayat Ibnu Abbas tentang firman Allah," Barang siapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang
yang kafir." [ Al Maidah : 44].
Ibnu Abbas dalam
menafsirkan firman Allah ini berkata:
" Siapa mengingkari
apa yang diturunkan Allah berarti telah kafir."( HR. Ath Thabari dalam tafsirnya 6/149.)
Tafsiran ini juga dipilih oleh Inu Jarir dalam
tafsirnya." ( Tafsir Ath Thabari 6/149, Tafsir Ibnu Katsir 2/58. )
Sesungguhnya mengingkari
kebenaran dan kebaikan (juhud) hukum Allah berarti menentang syari'at Allah dan
mendustkana nash-nash kedua wahyu Allah. Para
ulama telah sepakat bahwa orang yang mengingkarisatu hal yang telah ma'lium
minad dien bidh dharurah telah kafir. Ijma' ini dinyatakan oleh banyak
sekali ulama sebagaimana telah kita
terangkan secara rinci di bab-bab sebelum ini. ( Lihat pembahasan Inkaru Hukmin
Ma'lumin Minad Dien bidh Dharurah.(dalam buku asli). )
Di antara pernyataan
ulama dalam masalah ini adalah ungkapan Imam Abu Ya'la :
" Siapa meyakini halanya
hal yang diharamkan Allah dengan nash shorih, atau apa yang diharamkan
Rasulullah atau disepakati kaum musliminkeharamannya, maka ia telah kafir.
Seperti orang yang menghalalkan minum minuman keras, meninggalkan sholat, shoum
dan zakat. Demikian juga orang yang meyakini haramnya hal yang telah dihalalkan
oleh Allah dengan nash shorih, atau dihalalkan oleh Rasulullah dan telah
diepakati kehalalannya oleh kaum muslimin, maka ia juga kafir sperti orang yang
mnegharamkan nikah, mengharamkan jual beli sesuai yang diatur Allah. Sebab
kekafirannya adalah karena dalam sikap ini ada sikap mendustakan khabar Allah
dan Rasul-Nya dan juga mendustkana khabar seluruh kaum muslimin, maka siapa
telah melakukan hal ini maka ia telah kafir berdasar ijma' seluruh kaum muslimin."
(Al Mu'tamadu Fi Ushuli Dien hal. 271-272. )
Imam Ibnu Taimiyah berkata :
" Manusia kapan saja
ia menghalalkan hal yang telah disepakati keharamannya atau mengharamkan hal
yang telah disepakati kehalalannya atau merubah syari'at Allah yang telah
disepakati maka ia kafir murtad berdasar kesepakatan." ( Majmu' Fatawa
3/267, lihat juga Fatawa Muhammad bin Ibrahim 12/288, Hadul Islam hal. 437,
Tahkimusy Syariah Syaikh Manna' Qathan dalam Majalatl Buhuts edisi I, hal .67,
Dhawabithu Takfir hal. 219. )
Syaikh Syanqithi berkata
:
" Siapa tidak
berhukum dengan apa yang diturunkan Allah untuk menandingi para rasul dan
membatalkan hukum-hukum Allah maka kedzaliman, kefasikan dan kekafirannya
mengeluarkannya dari milah (Islam)." .(
Adhwaul Bayan 2/104. )
Perlu diketahui bahwa
sekedar mendustakan (juhud)ini saja sudah menyebabkan pelakunya kafir,
sekalipun belum diiringi dengan berhukum kepada selain syari'at Islam. Orang
yang juhud ( mengingkari kebenaran dan kebaikan hukum Allah ) itu kafir baik ia
berhukum dengan selain hukum Allah ataupun tidak."
Ketika menerangkan
pernyataan para ulama tentang ayat," Barang siapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang
kafir." [ Al Maidah : 44], di
antara yang dikatakan oleh Imam Imam Ibnu Qayim adalah :
" Ada yang menta'wil
ayat ini dengan mengatakan bahwa orang yang meninggalkan berhukum dengan apa
yang diturunkan Allah karena juhud, dan ini adalah pendapat Ikrimah. Ta'wil ini
lemah karena sekedar mengingkari saja sudah kafir baik ia berhukum denagn hukum
Allah maupun tidak." . ( Madariju
Salikin 1/336. )
3. Lebih mengutamakan hukum thaghut di atas
hukum Allah, baik dalam seluruh aspek kehidupan maupun sebagian aspek
kehidupan/masalah saja.
Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahab telah menyebutkan sikap ini sebagai salah sat u pembatal keislaman.
Beliau menyatakan :
" Siapa meyakini selain petunjuk
Rasulullah lebih sempurna dari petunjuk beliau, atau hukum selainnya lebih baik
dari hukum beliau seperti orang yang
mengutamakan hukum para thaghut atas hukum beliau, maka orang ini
kafir…".( Majmu'atu Mualafatu
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab 1/386. )
Syaikh Muhammad bin
Ibrahim juga menegaskan:
" Siapa meyakini
hukum selain hukum Rasulullah lebih baik, lebh sempurna, lebih mencakup apa
yang dibutuhkan oleh manusia baik secara mutlak atau dalam sebagian masalah
yang baru terjadi (aktual) yang timbul dari perkembangan zaman tak diragukan
lagi ia telah kafir karena mendahulukan hukum makhluk yang tak lebih dari
sampah (tahi) otak belaka ….". (
Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim 12/288, lihat Tafsir Al Manar6/404,407,
Fatawa Ibnu Bazz 1/273, Al Majmu' Ats Tsamin 1/36. )
Bangsa Tartar ---setelah
menghancurkan daulah khilafah Abasiyah --- memunculkan hukum ini, yaitu dengan
membuat hukum Ilyasiq dan mewajibkan kaum muslimin untuk menerimanya dan
memaksa mereka meninggalkan hukum Allah. Imam Ibnu Katsir telah menunjukkan
peristiwa ini dalam tafsir beliau terhadap ayat," Apakah hukum jahiliyah
yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah
bagi oang-orang yang yakin?." [Al Maidah :50].
Beliau berkata :
" Allah mengingkari orang yang keluar dari
hukum Allah yang muhkam yang memuat segala kebaikan dan melarang segala
kerusakan, kemudian malah berpaling kepada hukum lain yang berupa
pendapat-pemdapat, hawa nafsu dan istilah-istilah yang dibuat oleh para tokoh
penguasa tanpa bersandar kepada syariah Allah. Sebagaimana orang-orang pengikut
jahiliyah bangsa Tatar memberlakukan hukum ini yang berasal dari system
perundang-undangan raja mereka, Jengish Khan. Jengish Khan membuat UU yang ia
sebut Ilyasiq, yaitu sekumpulan peraturan perundag-undangan yang diambil dari
banyak sumber, seperti sumber-sumber Yahudi, Nasrani, Islam dan lain sebagainya.
Di dalamnya juga banyak terdapat hukum-hukum yang murni berasal dari pikiran
dan hawa nafsunya semata. Hukum ini menjadi UUD yang diikuti oleh keturunan
Jengis Khan, mereka mendahulukan UUD ini atas berhukum kepada Al Qur'an dan As
Sunah . Barang siapa berbuat demikian maka ia telah kafir, wajib diperangi
sampai ia kembali berhukum kepada hukum Allah dan rasul-nya, sehingga tidak
berhukum dengan selainnya baik dalam masalah yang banyak maupun sedikit."
( Umdatu Tafsir 4/171-173, lihat Al Bidayah wan Nihayah 13/119. )
Imam Mahmud Al Alusi
berkata dalam tafsirnya :
" Tidak dragukan
lagi kekafiran orang yang menganggap bahwa UU positif lebih baik dan
mengutamakannya atas syari'at Islam dan mengatakan UU positif lebih sesuai dan
lebih baik bagi rakyat dan ia marah ketika dkatakan kepadanya dalam satu
urusan," Keputusan syari'at dalam masalah ini begini" seperti kita
saksikan pada sebagian orang yang Allah menghinakan mereka maka Allah membuat
mereka tuli dan buta…tidak seyogyanya bertawaquf dalam mengkafirkan UU positif
yang jelas-jelas menyelisihi syari'at dan mendahulukannya atas syari'at bahkan
mencela syari'at." ( Ruhul Ma'ani 28/20-21, dengan diringkas.)
( halaman 20 tengah )
( bagian 3 )
DR. Ismail al Azhari juga
berbicara tentang orang-orang yang tak beriman yang menuduh syariah Islam tidak
sempurna. Di antara yang beliau katakan adalah
:
" Siapa mengira
bahwa syari'at yang sempurna ini -dimana tak pernah ada di dunia ini UU yang
lebih sempurna darinya --- kurang (tak sempurna) sehingga memelukan sistem lain
yang melengkapinya maka ia seperti orang yang mengira manusia memerlukan rasul
selain rasul mereka yang menghalalkan apa yang baik-baik bagi mereka dan
mengharamkan hal-hal yang keji bagi mereka. Demikian juga orang yang mengira ada hukum dalam Al Qur'an atau
As Sunah Ash Shahihah tidak sesuai dengan maslahat yang dituntut oleh UU dunia
maka dia telah kafir secara pasti." .( Tahdziru Ahlil Iman hal. 80-81,
juga hal. 22.)
Syaikh Mahmud Syakir
menceritakan kondisi seperti ini dengan perkataan beliau :
" Apa yang hari ini kita alami adalah
menjauhi (membuang) hukum-hukum Allah secara totalitas dan mendahulukan hukum
selaian hukum Allah atas Al Qur'an dan As Sunah dan meniadakan seluruh hukum
syariah Allah. Bahkan sampai mereka yang mendahulukan hukum selain hukum Allah
atas hukum Allah beralasan bahwa syari'at Islam diturunkan bukan untuk zaman
kita sekarang ini dan diturunkan karena sebab-sebab yang telah hilang (tak ada
wujudnya sekarang ini). Dengan hilangnya alasan-alasan diturunkannya syari'at
Allah ini maka hilang pula seluruh hukum-hukum syariah (sehingga tak perlu
berhukum dengan hukum Islam)." (
Umdatu Tafsir 4/157. )
Musuh-musuh agama ini
telah menempuh beraneka macam cara untuk mendeskriditkan syariah Islam ini.(
Lihat selengkapnya dalam Al Islam wal 'Ilmaniyah, Dr. Yusuf Qardhawi dan Al Ilmaniyah, Dr. Safar Hawaly,
Tahafutul 'Ilmaniyah fi Ash Shahafah Al 'Arabiyah Salim Bahnasawi dan Tahkimul
Syari'ah, Dr. Sholah Showi. ) dan untuk menyanjung dan mengutamakan hukum
thaghut atas hukum Allah. Maka anda lihat mereka mensifati Islam sebagai dien
yang mengurusi masalah rohani saja, sama
sekali tak mempunyai hubungan dengan seluruh aspek kehidupan yang lain, seperti
mu'amalah peradilan, politik, hudud (hukum-hukum pidana) dan aspek kehidupan
lainnya.
Syaikh Ahmad
Syakir.( Ahmad bi Muhammad Syakir, salah
seorang ulama hadits abad ini, belajar di Al Azhar , memegang jabatan hakim dan
sibuk mengarang buku. Wafat tahun 1377 H. ) berkata tentang orang-orang yang
mendiskreditkan hukum Allah ini dan kondisi sebenarnya dari hukum Allah :
" Padahal Al Qur'an penuh dengan
hukum-hukum dan kaedah-kaedah yang agung, dalam masalah ekonomi dan
perdagangan, hukum-hukum perang dan perdamaian, ghanimah dan tawanan perang,
dan nash-nash yang tegas dalam masalah hudud (hukuman pidana) dan qishash. Maka
barang siapa menuduh Islam hanya dien
yang mengurusi masalah ibadah ritual saja, maka ia telah mengingkari seluruh
hukum-hukum ini dan mengadakan kedustakan yang besar terhadap Allah dan berarti
ia telah mengira ada orang atau lembaga yang mampu (boleh) menghapus ketaatan
kepada Allah dan beramal dengan hukum yang ditetapkann-Nya. Hal ini tak
mungkin dikatakan oleh seorang muslim,
siapa mengatakan demikian maka ia telah keluar dari Islam secara keseluruhan dan
ia telah menolak seluruh Islam, sekalipun ia masih sholat dan shoum dan mengira
dirinya masih muslim." Al Kitab was Sunah Labudda An Yakuna Mashdarol
Qawanin fi Mishra, hal. 98, lihat juga
'Umdatu Tafsir 2/171-172, Mauqiful 'Aqli wal Ilmi wal 'Alam min Rabil
'Alamin, Shabri Mushthafa 4/292.
Musuh-musuh syari'at
Islam ini juga menuduh memberlakukan syari'at Islam sebagai UUD negara
merupakan pengakuan terhadap diktatorisasi (kekerasan) politik dan terorisme
pemikiran (bidang intelektualitas). Mereka mengambil dalih kondisi Eropa pada
masa pemerintahan para pendeta dan gereja. Kadang-kadang mereka juga menuduh
syariah Islam itu jumud (statis), tidak mampu mengikuti perkembangan zaman.
Mereka juga menuduh huukum hudud dan qishash sebagai sebuah hukuman kejam,
tidak manusiawi dan barbar, sangat tidak
sesuai dengan humanisme abad ini.
Dalam hal ini, Syaikh
Muhammad bin Ibrahim berkata :
" Dan hukum Allah dan Rasul-Nya secara
dzat tidak berubah dengan adanya perubahan zaman dan perkembangan keadaan. Tak
ada satu permasalahan pun kecuali ada hukum mengenainya dalam Al Qur'an atau As
sunah secara nash atau dhahir atau secara istinbath (kesimpulan yang ditarik
ulama mujtahid) dan cara mengambil hukum lainnya. Hal ini diketahui oleh orang
yang paham (ulama} dan tidak diketahui oleh orang yang bodoh." .( Fatawa Syaikh Muhammad
bin Ibrahim 12/288.)